KETIKA kau menjumpai sebuah teks, maka sesungguhnya kau sedang membaca pengalaman: ide yang diabstraksikan melalui bahasa. Seorang pakar hermeneutika ilmu sosial, Paul Ricoeur, memandang “teks sebagai diskursus yang dibakukan”. Diskursus itu sendiri memuat peristiwa bahasa melalui proses objektivikasi. Jelasnya—ini seperti juga kata Derrida—semuanya dapat menjadi teks: cara memilih baju, sepatu, dan makan adalah teks, terlebih lagi cara bertutur atau cara menulis puisi, juga teks. Apa yang akan kau pikirkan kemudian setelah tahu bahwa praktek sosial adalah juga teks?, masih menalar simpulan kaidah teks

Tanggap atas cipta teks. Konvensi pengakuan itu perlu ya..?, "agar pengapresiasi mengakui bahwa teks-teks yang kita produksi bukan sebatas tiruan", tapi ia bersumber dari "kebeningan jiwa setiap insan yang merepresentasikan pengetahuan hakikat dan esensial", haha..ha...
Tanda kesan dalam penciptaan teks : pahamani objektivikasi dari karakter internal struktur sosial. Dengan begitu, kehadiran sebuah teks (ataupun artikel juga teks sastra bahasa lainnya) bagi masyarakat akan lebih berguna daripada sebuah keindahan semata, yang lantas dilupakan seperti sinetron atau acara komedi.
Tanda kesan dalam penciptaan teks : pahamani objektivikasi dari karakter internal struktur sosial. Dengan begitu, kehadiran sebuah teks (ataupun artikel juga teks sastra bahasa lainnya) bagi masyarakat akan lebih berguna daripada sebuah keindahan semata, yang lantas dilupakan seperti sinetron atau acara komedi.
kaidah teks pembelaan terhadap puisi, yang
diremehkan orang di zaman kita ini, tak terpisahkan dari
pembelaan kebebasan
pembelaan kebebasan
Ilustrasi kaidah teks
Menulis artikel unik sangat membuat pembaca penasaran, ini penting ya..?. Tapi (kata seseorang) menulis esai sangat bagus. Mungkin esai
paling bagus tentang penghayatan religius pada masanya, yaitu Puisi
Kitab Suci. Gagasan di dalamnya saya kira masih kena hingga kini. Di
sana ia melihat agama kian jauh dari semangatnya yang semula, dan
kerapkali dijadikan benda mati. Tuhan pun tak jarang ditampilkan secara
kejam, sebagai yang Mahapemarah, sambil menyembunyikan sifat Tuhan
sebagai Mahapengasih dan Mahapenyayang. Jika tidak demikian ...?
“Seandainya Kitab-kitab Suci hanyalah buku-buku hukum yang tanpa puisi”, kata Goenawan, maka “manusia akan hidup dengan rohani yang kerontang. Bhagawat Gita, Injil, Quran. Di tengah-tengah pengalaman masa kita kini, salah satu kebutuhan kita adalah menghidupkan kembali puisi yang terdapat di dalamnya”, dengan tujuan “pembaruan sikap, untuk lebih mampu menerima Kitab Suci bukan sekadar sebagai sebuh KUHP…Sebab Tuhan memang bersabda, dengan bahasa manusia, dalam puisi. Dan puisi, dengan perlambang-perlambangnya, dengan iramanya, dengan seluruh semangatnya, tidaklah mendikte…(selengkapnya di : dialog tokoh dan pemikir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar