Pages

07 Juli 2012

Hujan deras adalah diksi kemarau

Hujan deras ketika anggota KPPS sekitar tujuh ratusan meninggal, para keluarga korban merasakan ini sebagai diksi kemarau, kuburan begitu dangkal dan nyawa demikian murah atas nama tugas negara. Peristiwa yang hanya di anggap perubahan musim tanpa bela sungkawa. Tulisan ini mengenang peristiwa tadi, dalam kelemahan ini aku hanya tutut berduka dengan kata. 

Musim hujan sebentar lagi, dan menggerakkan segala ruang juga sel, tapi sebesar apapun pengaruhnya ke-kita ia tdk boleh dianggap sebagai bagian dari sejarah, sebab dalam adagium sejarah hanya teranggap sebagai suatu masa saja- sedang peristiwa kematian rakyat jelata serupa saja dengan pergantian musim, dianggap biasa dan kodrati.

gambar simbolik hujan deras dalam diksi kemarau


Ironi Pergantian Musim Dianggap Sejarah

Lagi, prosesi perebutan kekuasaan pada musim kemarau, kelak tentang hal krusial politik, pada hajatan besar nanti yang berlangsung dengan suasana panas, suhu naik, apakah itu suhu politik atau suhu udara, karena hajatan biasanya berlangsung pada musim hujan.  Sedang kemarin Pemilukada masih menetes darah, 

Musiman yang berubah jadi kesejarahan, sebab orang sangat percaya bahwa musim berganti dapat menjadi sejarah di catata sebagai biografi seolah bercerita tentang orang-orang besar", maka kemarau dapat diterima sebagai sejarah jika presentase keterkenalan adalah prioritas yang kemudian teranggap sebagai sejarah, bukankah... pelaku bom juga terkenal, pelaku mutilasi org juga terkenal, teroris juga terkenal, malah di republik kita ada banyak yang pas-pasan saja tapi kita kemudian menokohkannya...haha..ha..., atau "apa dan siapa saja adalah sejarah ?", 

kesejarahan benar-benar sedang mampir ya..di bumi pertiwi kita ?, > ya... sistim "penanggapan sebagai sejarah", sedang nge-trendi di bumi kita ini, dari demokratisasi ke pemimpin karismatik, para selebriti, juga org2 yang sibuk di sebuah ruang rutin kemudian juga menjadi tokoh sejarah, bilangku, " oh...bisa saja sebab administrasi bisa juga sebab hal terencana yang lahir lewat kecerdasan, aih...

Sekarang bukan lagi tentang kemarau atau sejarah....yang penting tokoh tidak menjadi berhala sebab pengertian sejarah dalam perspektifnya sungguh hanyalah mitos. Mungkin ada yang telah berpendapat demikian /jika tidak biar aku saja------

Tapi diksi baru apa ya …tuk menanggapi musim ini ? aku masih setia mencari pada Trotoar.... tempat mukaku yang tersengat panas, sebab di pinggir jembatan ini tak mampu mengais dingin pada ac kendaraan yang lewat atau pada sela daun-daun pinggir jalan lantaran semua pohon seolah juga rindu pada garis-garis cuaca yang di harapnya berubah tiba-tiba,

Bukan perubahan perhatian yang mendebarkan seperti ketika semua perhatian tertuju ke credentials room di Istana Merdeka, saat Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, atau hebohnya celetuk Anas yang minta di gantung di Monas Jika Terlibat Hambalang, segala ke-hebo-an tentu hanya pidato yang singkat, atau dengan istilah "tulis-tulis saja" lalu kemudian terlupakan. Di samping jembatan Marusu, masih mencari diksi "kemarau ", dan mobil tronton menggoyang jembatan begitu keras sungguh sangat mengusik, pun tak membekaskan kata sedikitpun : di mana senyum itu yang kuharap menjadi diksi sore ini ?, atau segala telah berubah kemarau ?.

Terhadap kemarau juga hujan, seperti semua "bungkam" dan
 cari aman, TAK : esai, artikel, sajak terlebih puisi. "inilah zaman edan itu, dan 
polarisasi kekuatan sedang menampik yang lemah" kata Chekuvara.

Menemu diksi untuk judul tulisan ini masih kegelisahan seperti getir pemuda Soekarno, ketika ia pidato pembelaan dengan diksi yang ditemukannya "pledoi" di depan pengadilan kolonial di Bandung, saat 18 Agustus 1930 yang kemudian dikenal dengan Indonesia Menggugat, haha..ha..Soekarno muda dengan lantang mengecam Imperialisme dan Kapitalisme yang sangat merugikan kaum Bumiputra. ia terus menyoroti upah Bumiputra yang sangat rendah dibandingkan dengan pemegang andil (saham).

Atau diksi kemarau pada ranting-ranting kering yang entah kapan patahnya….atau kepul asap yang belum pekat untuk menenun awan, oh tidak adakah orang seperti Priyo bagiku, sebagaimana ia  memahami kegelisahan Presiden kita terkait pesan singkat gelap berisi fitnah itu, ia Priyo "memahami akhir-akhir ini banyak isu, rumor, dan fakta. dan berharap isu negatif tidak terus-menerus menyerang Partai Demokrat". bilangnya

Sore ini senyummu tergambar kukira ini diksi tuk kemarau, tapi senyummu bilang "Aku tak pernah bisa mencintai musim ini secara biasa, sampai jejalanan ini lindap jadi rerumpun", ih kukira ini diksinya........sebab hujan dan jembatan penyeberangan tiba-tiba tumbuh rumput liar dan sangat pariatif : siapa yang menumbuhkan rumput ? adalah hujan deras dalam diksi kemarau.
____
kaimuddin mbck. ya tulis-tulis saja
Hujan deras adalah diksi kemarau, ideologi egoisme dan 
kepengecutan sedang berlangsung dan semua bungkam bagai air sungai tenang berbuaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar