Buku adalah jendela ke masa silam, adalah kesimpulan saya saat menghadiri launching buku “Kearifan Budaya Lokal” di sebuah warkop tepian sungai kemarin. Membaca buku ini mengingatkan saya pada kenangan masa kecil yang manis, seperti saat harus berdiri di depan kelas menghafal petitih-petatah Bugis yang sangat saya gandrungi. Bahkan sebagian besar masih melekat diingatan hingga saat ini: Duami riyala sappo, unganna panasae na belo-belo kanuku atau Nawa-nawapa nagau resopa temmangingi na malomo na letei pammase dewata, juga tercantum di buku ini.
Buku  hasil keroyokan anak-anak muda di Lembaga Pengkajian Strategis  Salewangang (Leppas) ini memuat beragam kearifan lokal dalam bentuk Pappaseng, Musik Tradisi serta Cerita Rakyat, sesuatu yang diyakini sebagai pandangan hidup masyarakat Bugis-Makassar di masa lalu. Artefak budaya Bugis-Makassar semisal Mappadendang sebagai ungkapan rasa syukur karena panen melimpah, atau Mappaci   sebagai salah satu ritual dalam acara pernikahan merupakan tradisi yang  masih bisa ditemui dihampir seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Namun ada  banyak tradisi lokal yang nyaris punah akibat persinggungan dengan  modernitas. Tradisi Massure’  misalnya, yang biasanya  digelar sebagai ritual untuk menentukan waktu musim tanam hanya bisa  ditemui dalam naskah lontara atau paling banter dalam festival-festiival  kesenian. Yang paling mencemaskan jika jejak tradisi itu hanya bisa  ditemui dalam kesadaran para tetua. 
Mengapa budaya yang dipandang agung oleh komunitasnya di masa lalu tersingkir ke wilayah paling terpencil di era modern, adalah gugatan banyak penghayat kebudayaan termasuk mereka yang hadir pada peluncuran buku ini. Memang banyak variabel yang bisa diajukan sebagai jawaban, sikap puritanisme ber-agama misalnya, memandang banyak tradisi tertentu sebagai jejak paganisme dari masa lalu yang mesti diberantas.
Ritual penghormatan pada penguasa hutan sebelum menebang kayu melahirkan tradisi eksotik dibeberapa tempat di nusantara, tapi di sisi lain dianggap praktek kemusyrikan. Namun biang kerok yang dituding paling bertanggung-jawab atas raibnya tradisi-tradisi lokal tersebut adalah modernitas. Karena hutan bagi masyarakat modern adalah sumber daya alam yang boleh dieksploitasi habis-habisan dan tidak bernilai sakral. Akibatnya, modernitas adalah penyumbang terbesar pada ekstra aktifnya pembalakan hutan di negeri ini.
Ketika antroposentrisme ditemukan pada masa renesanse  dan akal budi sebagai ujung tombaknya, maka pada saat yang sama lonceng  kematian bagi tradisi yang bersumber pada mitologi telah dibunyikan.  Antroposentrisme yang tidak lagi memusatkan perhatiannya pada kosmos  seperti di masa Yunani Kuno, atau Tuhan di Abad Pertengahan menemukan  justifikasi dalam pemikiran filsuf besar semisal Rene Descartes dan  Spinose. Revolusi hijau yang merupakan anak kandung rasionalitas atas  dali peningkatan produktifitas pertanian dan meningkatkan kesejahtraan  petani melakukan produksi besar-besaran jenis varitas baru yang dianggap  unggul di bidang pertanian beserta produk turunannya seperti pupuk dan  pestisida, lalu disebar luaskan ke seluruh dunia. Dengan memanfaatkan  negara dunia ke tiga sebagai agen, korporasi internasional yang berada  di bawah kendali negara adi daya melakukan penyeragaman varitas dan  menciptakan ketergantungan bagi petani. Akibat tidak langsungnya adalah  punahnya tradisi agraris di masyarakat lokal. Apa lagi gunanya massure’  untuk menetapkan waktu musim tanam ketika semuanya tunduk pada pertimbangan rasionalitas. Apa pula makna lesung pada acara Mappadendang,  ketika varitas yang dipersyaratkan pada ritual itu tidak lagi ditemukan  karena telah tergantikan oleh varitas-varitas unggul versi Revolusi  Hijau. Ruang pijak tradisi itu telah hilang dan akibatnya tradisi itu  ikut raib.
Saat  kita tegak di abad 21, rasionalitas telah  kehilangan banyak energi dan nyaris sempoyongan. Sejak kehadiran Post  Modernisme/ Post Strukturalisme sebagai penantang yang tangguh,  modernitas makin kehilangan daya pesonanya. Klaim rasionalitas sebagai  pemilik kebenaran ditabrak habis-habisan dari sisi  metodelogis  oleh J.  Derrida,  M. Faoucault  dkk. Dengan melakukan dekonstruksi, Derrida  sampai pada kesimpulan: tidak ada lagi kebenaran tunggal, yang ada  adalah kebenaran yang partikular, unik dan relatif. Atau dengan kata  lain  setiap sesuatu memiliki kebenarannya masing-masing. Terlepas  sepakat atau tidak dengan sudut pandang mashab ilmu sosial ini, yang  pasti mereka yang selama ini diposisikan sebagai the other menemukan  pembenaran secara akademik.
Kembali  ke buku “Kearifan Budaya Lokal”, sejak awal salah satu tujuan  menerbitkan buku ini sebagai ikhtiar memperkaya refrensi pemerintah  daerah dalam menyusun kurikulum pendidikan kearifan budaya lokal. Namun  bagi saya, buku dengan tema seperti inii menjadi semacam pembawa pesan  betapa pentingnya bangsa ini menjaga tradisi, wilayah dimana negara  seringkali absen. Masih ingat ketika Malaysia mengklaim Reok Ponorogo,  Tari Pendet, Wayang kulit dst, ke mana negara saat itu? Padahal  perkembangan demokrasi telah memberi ruang yang lapang pada ekspresi  budaya suatu suku bangsa untuk memperoleh pengakuan serta perlindungan  internasional. Organisasi Hak atas Kekayaan Intelektual Dunia atau lazim disebut  World Intellectual Property Organization (WIPO)  adalah salah satu badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang  berkomitmen mendorong kreativitas dan memperkenalkan perlindungan  kekayaan intelektual seluruh dunia dan memberi perlindungan pada  ekspresi kebudayaan suatu bangsa. Persoalannya adalah, adakah pemerintah  Indonesia memiliki komitmen yang kuat dengan cara mendaftarkan ekspresi  budayanya seperti yang telah dilakukan Malaysia. TIDAK, jawabannya  [BERSAMBUNG].

Tidak ada komentar:
Posting Komentar