Komunitas sastra dan sanggar "Paraikatte "di daerah tersebut "Bontoa" menyimbolikkan keadaan mereka di panggung pentas, apresiasipun digelar , mencengangkan .., serentetan pertunjukan mengolaborasi item utama yaitu "air", dalam dalam isarat lambatnya penanggulangan terhadap bencana kekeringan, dan air matapun tumpah nan mendinginkan sejenak tanah kerontang Bontoa.
__________________________

Kemarau dan serangkai aksara yang berserakan,
aku menyunting satu-satu
huruf, angka, ranting, daun, bunga, bahkan parasit, atau entah apa namanya,
sebab : di tengah kemarau segala-gala merengek minta segera dipetik sebelum kering ketimbang jatuh lalu terlupakan“,
sebab : di tengah kemarau segala-gala merengek minta segera dipetik sebelum kering ketimbang jatuh lalu terlupakan“,
Kemarau dan serangkaian waktu tanpa akhir, .bukan hanya kaki-kaki yang terluka di tanah retak, juga kemarau nan memerih mata" tapi juga tentang pohon mangga yang daunnya tinggal satu menunggu gugur.
Kemarau sebuah judul yang rumit, seperti gersang yang menceritakan banyak hal, tak terkecuali gadis desa yang memanggul air dengan kaki menjejak tanah kering, pula debu dan panas membekas di wajah di sepanjang batang waktu,

.
Hanya ini yang aku bisa, tampak gadis desa duduk merenung, melihat putik daun berguguran menjejak tanah. mungkin ia bibit yang akan tumbuh di musim hujan kelak, pikirnya.
Kemarau dan gadis itu di Talawe,
"sore dan gadis desa yang memanggul air, entah ...musim mana yang lebih aku sukai"
______
Sangbaco _ Apresiasi Pentas Sanggar "Paraikatte" di Pesisir Bontoa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar