“Hidup adalah pilihan”, sebuah idiom yang mengharu biru, falsafah yang menghendaki kita menentukan pilihan jalan hidup, karena ini kita tak berkumpul dengan mengendapkan cemas, sedih bahkan gembira yang berlebihan, sebab pandangan hidup selalu orientasi “tanggung jawab”, hal ini secara individual me-atraktifkan pertimbangan sikap “bahwa kita melakukan semua ini sejak awal karena kehidupan setelah kematian, karena sesuatu yang hari ini dan esok yang harus dipikul.
Interaksi masyarakat lampau Bugis, senandungkan kaidah “Parapi I nawanawa de E na rapi I nawanawa”, bukanlah perintah nawa-nawa untuk berhayal yang dipahami secara sederhana tapi menunjukkan sebuah kontemplasi, de E narapi I nawa-nawa adalah kerja yang direngkuh dengan segala upaya intelek dan juga sisi suprasegmental, segalanya berpacu pada tujuan pemikiran kemanfaatan u/khalayak, hari ini sebuah ritme yang lenyap sembunyi di luar telatah pengetahuan, maka di seberang jangkauan intelek, juga di dalam obyek-obyek sensasi yang diruahkan bendawi, maka rilies pelayaanan dan kemudahanlah bagi ke-manusia-an merupakan upaya yang harus disandingkan. Keberadaan ini semestinya menilaskan pratanda di ruang kesadaran, sampai pada akhirnya kita menemukan hasil kerja tersebut setelah kematian.
Tak seperti Masyarakat Bugis dengan petuahnya tadi, ia Eric Fromm, dalam” The Art of Time & Living”, tidak tertarik, atau juga tidak sanggup membahasakan, mendefinisikan tentang tujuan waktu kehidupan yang begitu kompleks ini, sebab seabrek kepentingan dunia di persimpangan. Mungkin karena dunia ini indah penuh warna/I, perihal hadits coba di shot dengan mengidentikkan keadaan tersebut sebagai beban (ke-tidak) terjebak-an terhadap waktu dalam penyakit “wahn”, atau takut mati dan cinta dunia.
Kukira beberapa teman saya sebut saja Wawan Mattaliu, tampaknya memang memberi tempat khusus dalam gagasan tentang kiprah pemetaan waktu, ia menjernihkan beberapa pandangan plural tentang pasar yang selalu hanya kresek penuh barang juga bau pasar ikan yang amis dan apek, dan ia memulainya di kesenian, berpentas seni dgn rambut gondrong (sekarang: “plontos” ) berteriak dan memekik saat pasarnya terbakar, ia memikul beban dan melakukan perlawanan dari pasar sentral Maros dan kini DPRD Provinsi, ke-depan ia kemana lagi entahlah…..
Generasi pemikul beban, dengan Jejak terlihat disejumlah tempat, pikiran, rumah nan selalu terbuka, waktu senggang sore-malam diskusi dan tongkrongannya di warkop bersama khalayak, wajah-wajah dari sekian banyak anak muda yang meniti buih di samudra luas, ia A.Muh. Irfan Ab, seperti manusia Bugis tempo dulu, dengan tipikal “peramu dan pemburu”, dengan sesuatu yang coba ia jernihkan tentang citra yang menyilaukan, ia pemburu yang memperterang sejumlah cahaya lain yang redup oleh informasi yang tak memadai, atau mungkin Irfan Ab itu, seperti banjir menderas, meluapi sungai-sungai, menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya, lalu merengkuhnya dalam kelembutan, demikianlah generasi pemikul beban, Kekuasaan tampak lembut ketika memasuki wilayahnya, ia ditakdirkan me-beri makna di tengah kekuasaan. (puitik-kah ini ?)
Kaidah Bugis,” Resopa temmmangingi namalomo naletei pammasena dewata”, sebuah idiom yang melarang kita “malas, berkabung…”, kata yang Selalu fantasi tentang mengerti, dan menang dalam pengaturan Dewata Seuwa e, sebuah teropong tegak memandangimu dari jauh dan menggetarkanmu berulang-ulang. Seperti jam di tanganmu yang selalu berdetak, dewata seuwae selalu mengubah adegan yang salah dalam hidupmu, seperti keberadaan doa yang merubah takdir (sebuah buku tebal berjudul demikian)
“Rikammana gau-gaukang, rikamma pole risabbi ”, : Seperti apa prilakumu, seperti itulah anggapan orang terhadapmu”, bersama waktu, manusia menyelam dalam hubungan kebermaknaan, tampak relasi yang mereka cipta sendiri melalui konfirmasi dan afirmasi terhadap nilai individual dalam menunjang kehidupannya/ diri sendiri dalam istilah ego sentris. Eyang pasolle, seorang dengan pandangan ilmiah bercampur imajinasi tentang dunia masa depan dalam dampak laju sains dan teknologi, sesuatu yang dianggapnya bagian dari budaya, kebudayaan,” jelasnya. Lainkali ia, berseloroh mengingatkan (mungkin) kita mesti siap menyongsong perubahan drastis sebagai pola dari gerak waktu yang terus berubah, dan pandangan harus diselaraskan terhadap perihal kemajuan tersebut. Tak banyak kumengerti, mungkin karena ia CEO, berbahasa HTML atau karena ia Professional Googler atau apalah namanya.
Generasi pemikul beban, menegaskan seorang guru matematika senior bernama Jafar Baso, ia tidak bergantung pada nasib dan peluang buta belaka, ia pekerja yang menghabiskan waktunya mendidik generasi dan merumuskan hidup, ia menghabiskan materinya dan me-sekolahkan anaknya kejenjang tinggi, dan hanya meninggalkan rumah yang sederhana dan kendara roda dua, dengan penuh senyum, selalu ia tampak tangguh merumuskan “Siswa Cakap Belajar Matematika” seperti Al khawarismi, ia akrab dengan angka-angka, rumus-rumus dan obyek-obyek memajukan anak didiknya, tak banyak yang mengenalnya, tapi ia sang inspirator.
Dunia selalu berubah dan kita terus memikul beban mengisi hidup sepanjang waktu, ikhtisar salah satu hadits me-interupsi “bahwa sesungguhnya, termasuk setetes bensin yang menggerakkanmu ketujuan, (pula) akan ditanyai, kau gunakan kemana dan untuk apa ?, “. Menutup cerita ini dengan pandangan Wislawa Szymborksa, “orang melakukan yang diinginkannya, lalu lewat kematian selalu ada yang pergi, mungkin akhir tersebut adalah peristiwa yang TAK ISTIMEWA bagi dunia atau mungkin sebaliknya, tapi kematian adalah idiom, bukan “mati yang sebenarnya”
____
Kaimuddin Mbck, Kassi, Rabu, Maret 2018.
Interaksi masyarakat lampau Bugis, senandungkan kaidah “Parapi I nawanawa de E na rapi I nawanawa”, bukanlah perintah nawa-nawa untuk berhayal yang dipahami secara sederhana tapi menunjukkan sebuah kontemplasi, de E narapi I nawa-nawa adalah kerja yang direngkuh dengan segala upaya intelek dan juga sisi suprasegmental, segalanya berpacu pada tujuan pemikiran kemanfaatan u/khalayak, hari ini sebuah ritme yang lenyap sembunyi di luar telatah pengetahuan, maka di seberang jangkauan intelek, juga di dalam obyek-obyek sensasi yang diruahkan bendawi, maka rilies pelayaanan dan kemudahanlah bagi ke-manusia-an merupakan upaya yang harus disandingkan. Keberadaan ini semestinya menilaskan pratanda di ruang kesadaran, sampai pada akhirnya kita menemukan hasil kerja tersebut setelah kematian.
Kukira beberapa teman saya sebut saja Wawan Mattaliu, tampaknya memang memberi tempat khusus dalam gagasan tentang kiprah pemetaan waktu, ia menjernihkan beberapa pandangan plural tentang pasar yang selalu hanya kresek penuh barang juga bau pasar ikan yang amis dan apek, dan ia memulainya di kesenian, berpentas seni dgn rambut gondrong (sekarang: “plontos” ) berteriak dan memekik saat pasarnya terbakar, ia memikul beban dan melakukan perlawanan dari pasar sentral Maros dan kini DPRD Provinsi, ke-depan ia kemana lagi entahlah…..
Generasi pemikul beban, dengan Jejak terlihat disejumlah tempat, pikiran, rumah nan selalu terbuka, waktu senggang sore-malam diskusi dan tongkrongannya di warkop bersama khalayak, wajah-wajah dari sekian banyak anak muda yang meniti buih di samudra luas, ia A.Muh. Irfan Ab, seperti manusia Bugis tempo dulu, dengan tipikal “peramu dan pemburu”, dengan sesuatu yang coba ia jernihkan tentang citra yang menyilaukan, ia pemburu yang memperterang sejumlah cahaya lain yang redup oleh informasi yang tak memadai, atau mungkin Irfan Ab itu, seperti banjir menderas, meluapi sungai-sungai, menyeret semua benda angkuh yang bertahan di hadapannya, lalu merengkuhnya dalam kelembutan, demikianlah generasi pemikul beban, Kekuasaan tampak lembut ketika memasuki wilayahnya, ia ditakdirkan me-beri makna di tengah kekuasaan. (puitik-kah ini ?)
Kaidah Bugis,” Resopa temmmangingi namalomo naletei pammasena dewata”, sebuah idiom yang melarang kita “malas, berkabung…”, kata yang Selalu fantasi tentang mengerti, dan menang dalam pengaturan Dewata Seuwa e, sebuah teropong tegak memandangimu dari jauh dan menggetarkanmu berulang-ulang. Seperti jam di tanganmu yang selalu berdetak, dewata seuwae selalu mengubah adegan yang salah dalam hidupmu, seperti keberadaan doa yang merubah takdir (sebuah buku tebal berjudul demikian)
“Rikammana gau-gaukang, rikamma pole risabbi ”, : Seperti apa prilakumu, seperti itulah anggapan orang terhadapmu”, bersama waktu, manusia menyelam dalam hubungan kebermaknaan, tampak relasi yang mereka cipta sendiri melalui konfirmasi dan afirmasi terhadap nilai individual dalam menunjang kehidupannya/ diri sendiri dalam istilah ego sentris. Eyang pasolle, seorang dengan pandangan ilmiah bercampur imajinasi tentang dunia masa depan dalam dampak laju sains dan teknologi, sesuatu yang dianggapnya bagian dari budaya, kebudayaan,” jelasnya. Lainkali ia, berseloroh mengingatkan (mungkin) kita mesti siap menyongsong perubahan drastis sebagai pola dari gerak waktu yang terus berubah, dan pandangan harus diselaraskan terhadap perihal kemajuan tersebut. Tak banyak kumengerti, mungkin karena ia CEO, berbahasa HTML atau karena ia Professional Googler atau apalah namanya.
Generasi pemikul beban, menegaskan seorang guru matematika senior bernama Jafar Baso, ia tidak bergantung pada nasib dan peluang buta belaka, ia pekerja yang menghabiskan waktunya mendidik generasi dan merumuskan hidup, ia menghabiskan materinya dan me-sekolahkan anaknya kejenjang tinggi, dan hanya meninggalkan rumah yang sederhana dan kendara roda dua, dengan penuh senyum, selalu ia tampak tangguh merumuskan “Siswa Cakap Belajar Matematika” seperti Al khawarismi, ia akrab dengan angka-angka, rumus-rumus dan obyek-obyek memajukan anak didiknya, tak banyak yang mengenalnya, tapi ia sang inspirator.
____
Kaimuddin Mbck, Kassi, Rabu, Maret 2018.