Jarak Pandang dari Bantaran Sungai : sebab begitu banyak yang telah terampas pappaseng, sipakatau dan pandangan akhirat yang sungguh jauh...maya..., ketika aku sendiri pantulan cermin sungai kebayang-bayang diri gramatik, dan...aku seperti hantu tegak di langit biru, jika bukan di bantaran sungai, maka sebuah perulangan kepura-puraan dari berbagai daratan yang lebih sibuk..., aku masih disini dan anak-anak berlarian sepulang mengaji, menggenapkan sore dengan berloncatan dari ranting pohon ke sungai.
curi pandang bantaran sungai sengkang |
Maka angin juga perahu merayakan pertemuan di bantaran sungai ini, angin yang mengeos dari lembah Pangngia lalu mendaki gunung Bulusaraung, kau mengenal jejak ini "sebuah jejak yang tersimpan dalam liang sejarah ketika Toakala merebus dirinya sendiri menjadi : kera raksasa putih".
Nelayan yang mengayuh sampan hingga ke muara dan mencatat jarak kelam dengan selaksa perasaan ?, disini ada ikan yang siap dipepes untuk sekali santap dan sebagianya mengisi warung-warung pinggir jalan dengan asap yang menggoda pejalan kaki.
Nelayan yang mengayuh sampan hingga ke muara dan mencatat jarak kelam dengan selaksa perasaan ?, disini ada ikan yang siap dipepes untuk sekali santap dan sebagianya mengisi warung-warung pinggir jalan dengan asap yang menggoda pejalan kaki.
menunggumu di bantaran sungai |
Jarak Pandang dari Bantaran Sungai sebenarnya tanggapan sungai terhadap Hedonisme zaman....
Atas jarak masa lalu, sekali itu pula a'resa resa menegas sebagai tradisi lewat sekelumit peristiwa yang membuat kita mengerti akan sebuah keterbukaan pandangan, ya..sebuah simbol kebahagiaan dan pemanjatan doa-doa bagi raja dan kelestarian alam yang disampaikan dengan lagu berbahasa Makassar seakan melupakan waktu yang terus bergulir, suara mereka terdengar saling bersahutan dan berbalas-balas, senandung lagu kadang terdengar lembut, kerap pula datar ataupun melengking, dan masyarakat Marusu mengenalnya dengan senandung “ Kadang Dio" “ketika kucuri pandangmu dari cermin masa lampau itu, maka berkisahlah sebuah kerajaan dekat pesisir yang menandai pengasih tuhan atas impuls keterbukaan dan kedekatan komunikasi secara intens antara masyarakat dan pejabat pemerintahan atau kerajaan.
Atas polusi zaman maka jarak pandangan meredam dan ketelanjangan me-ninabobo-kan ruas-ruas rahasia, pada habitat sungaimu sekali itu aku menelusur estetik-mu dan ku malu...: masih dunia belum bersahabat pada kearifan lalu yang melatari jernihnya sungai-mu juga ketulusan suara mengaji anak-anak kita yang menantang juga mengasah-mu.
Akhirnya tatap matahari tenggelam menciumi tanah dan sekumpulan pandangan hidup yang khas juga terikat, bahwa "langit masih itu-itu saja, biru dan serupa tapi mengenalkan farian masalalu itu. Dari bantaran sungai Marusu, senja dan keriuhan yang hanya jatuh di halaman pengasih tuhan ini: melambaimu, ia tak harap kau jauh.
Di sini dan seperti sungai ribuan lainnya, air jernih berbatasan dengan batu yang abu-abu dan lumut coklat kusam. Tapi tiba-tiba berubah secara dramatis seperti pelangi, disini meruak, dingin dan penuh tulisan, tanpa.... siapapun. Jika saja kau di sini ?.____. by : Kaimuddin mbck, (Kassi,17 juli2011)
Atas jarak masa lalu, sekali itu pula a'resa resa menegas sebagai tradisi lewat sekelumit peristiwa yang membuat kita mengerti akan sebuah keterbukaan pandangan, ya..sebuah simbol kebahagiaan dan pemanjatan doa-doa bagi raja dan kelestarian alam yang disampaikan dengan lagu berbahasa Makassar seakan melupakan waktu yang terus bergulir, suara mereka terdengar saling bersahutan dan berbalas-balas, senandung lagu kadang terdengar lembut, kerap pula datar ataupun melengking, dan masyarakat Marusu mengenalnya dengan senandung “ Kadang Dio" “ketika kucuri pandangmu dari cermin masa lampau itu, maka berkisahlah sebuah kerajaan dekat pesisir yang menandai pengasih tuhan atas impuls keterbukaan dan kedekatan komunikasi secara intens antara masyarakat dan pejabat pemerintahan atau kerajaan.
Atas polusi zaman maka jarak pandangan meredam dan ketelanjangan me-ninabobo-kan ruas-ruas rahasia, pada habitat sungaimu sekali itu aku menelusur estetik-mu dan ku malu...: masih dunia belum bersahabat pada kearifan lalu yang melatari jernihnya sungai-mu juga ketulusan suara mengaji anak-anak kita yang menantang juga mengasah-mu.
Akhirnya tatap matahari tenggelam menciumi tanah dan sekumpulan pandangan hidup yang khas juga terikat, bahwa "langit masih itu-itu saja, biru dan serupa tapi mengenalkan farian masalalu itu. Dari bantaran sungai Marusu, senja dan keriuhan yang hanya jatuh di halaman pengasih tuhan ini: melambaimu, ia tak harap kau jauh.
Di sini dan seperti sungai ribuan lainnya, air jernih berbatasan dengan batu yang abu-abu dan lumut coklat kusam. Tapi tiba-tiba berubah secara dramatis seperti pelangi, disini meruak, dingin dan penuh tulisan, tanpa.... siapapun. Jika saja kau di sini ?.____. by : Kaimuddin mbck, (Kassi,17 juli2011)
festival perahu hias 1973 |