Kampung Sastra Barru "Penguatan Makna Lokal dan Religi"

Minggu, Juni 26, 2011

Ulasan : Kemah Sastra dan Kampung Budaya di Barru Sul-sel_ by : Kaimuddin Mbck.
Adalah tawaran apresiasi Iklim sastra ke-dimensi lokal, penguatan yang  coba merelay peristiwa lampau pada alam makna sebagai jejak dari lokalitas kampung atau daerah, sebelum dunia porak-poranda.

Corak sastra Indonesia kekinian
Katanya "tidak menarik seperti menghilangkan beraneka panorama alam natural yang dimilikinya, tawarannya para kreator mesti lakukan urbanisasi ke dimensi universal, dan melirik alam lokal, jika perlu bahkan budaya menjadi netralisir gugatan hukum jahiliyah hari ini. mungkin ?"Kata Ahyar.

Ungkapan para budayawan di item "Tamu Dari laut "
(kemah sastra dan budaya di Barru), mengungkap penyesalan dalam meninggalkan nilai masa lampau itu bahwa "kelihatannya mereka telah pergi meninggalkan lumbung-lumbung ide yang selalu setia menyimpan kekayaan estetis tersendiri, dimana mereka masy lampau dengan membangun sastra itu dengan semisal ilham juga dengan kebijakan yang dalam".Dimensi lokal dan religi ke-aspek kekuatan sastra di tinggalkan, hingga yang terjadi kemudian adalah keseragaman yang menjemukan.

Kuntowijoyo juga misalnya pernah menyoroti suatu kecenderungan adanya sastra transendental dimana Kuntowijoyo menekankan sastra pada pentingnya makna*1), bukan semata-mata bentuk, abstrak bukan konkret, spiritual bukan empiris, yang di dalam bukan yang dipermukaan juga bukan. Soalnya,,,, lanjut Kuntowijoyo, jika kita mengutamakan bentuk, dan mengabaikan makna, kita akan terperangkap pada permainan dan rekaan yang kurang bermakna . 

Bahkan Goenawan Mohammad pun menyoroti ihwal religi-usitas secara lebih umum dalam seni mengharuskan agar sastra religius itu tidak dilihat dari bentuk luar dengan simbol-simbol tertentu. Toh antara seni dan agama ada pertautan yang kuat dalam jiwa dan perasaan serba indah, suatu wilayah dibalik alam nyata ini (Ulumul Qur’an vol.IV th 1993 via Edi A Effendi dalam sebuah percakapannya dengan Goenawan Mohammad).*2) 

Abdul Hadi WM menengarai sastra profetik-lebih jauhnya beliau membahas sastra yang bernafas sufistik–, bahwa karya sastra sungguh-sungguh menjadi profetik karena membawakan persoalan filosofis yang diajukan Qur’an: Persoalan hubungan dengan apakah realitas itu? Apakah yang nyata itu? Apa yang bisa dilihat mata dan dipahami akal yang bisa disebut sebagai yang nyata atau realitas? Dan kemudian problematik artinya menyoal bahwa sastra keagamaan dalam dunia Islam secara keseluruhan mencerminkan bahwa ia adalah gerak yang merdeka menuju tuhan.*3)

Dari situ kita dapat melihat bagaimana pemikiran yang mengkonsepsi (mengkonstruksi) sastra Islam ataupun sastra religius Dengan mengarifi sastra yang bernuansa keislaman secara objektif baik pada tingkat pembacaan maupun pada tingkat penciptaan, dengan hal tersebut berarti kita menerima hal itu sebagai warisan Islam.

Seterusnya, bagaimana kita kemudian melestarikannya; menggalinya, mengekspresikannya dan mengapresiasinya sebagai hasil kebudayaan umat manusia yang berguna dalam konteks dakwah moralitas terpetakan sehingga secara historis kita dapat mendapatkan gambaran bagaimana teks-teks sastra itu di(re)produksi. Jamil Suherman dengan ‘Perjalanan ke Akherat-nya misalnya, Hamka, Abdul Hadi WM, Emha Ainun Najib, Kuntowijoyo, Mustafa W Hasyim, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Hamdi Salad, Ahmad Nurullah, Ahmadun Yosi Herfanda, Abidah El-Haliqy, Soni Farid Maulana, Helvy Tiana Rosa, Rukmi Wisnu Wardani, dll.*4)

Catatan Kaki
*1) Suatu karya dapat dikatakan kering apabila ia tidak memiliki makna atau amanat yang hendak disampaikan pengarangnya,sedang keindahan penggunaan bahasa adalah bumbu penyedap suatu karya ‘enak’ dinikmati.

*2) Goenawan Mohamad (GM): Saya kira, kita tahu bahwa Tuhan datang ke kesadaran kita itu sebagai teks, melalui teks. Tuhan sendiri itu kan tidak pernah kita ketahui, yang kita ketahui selalu teks tentang Tuhan. Teks tidak berarti medium dalam bentuk tertulis. Tetapi teks dalam arti mediasi antara kita dan Tuhan itu sendiri, juga kesadaran kita tentang Dia. Jadi, setiap orang, baik penyair maupun bukan, selamanya bergulat dengan Tuhan adalah melalui teks.

*3) Gerak menuju penemuan dan pengenalan kembali hakekat jati diri karena hanya dengan mengingat tuhan manusia ingat pada dirinya dan hanya dengan menyelami jati dirinya, manusia bisa mengenal tuhan-pembentukan dunia di dalam dunia kesadaran dan mental manusia.(Ulumul Qur’an No.1 April-Juni 1989 dalam Semangat Profetik Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern).

*4) Atas sastra makna dan amanat menapak isi juga misi. Kita dapat lihat adanya suatu perjuangan hidup, pengorbanan, keikhlasan sebagai amanat yang terkandung dalamnya_ searing > ngajak teman2 di himpunan mahasiswa bahasa STKIP Maros dalam Sastra alam Makna, Lokal dan Religi
________
Kaimuddin Mbck _Ulasan "Kampung Sastra Barru "Penguatan Makna Lokal dan Religi"

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images