Hukum Pelarangan Pemali Bugis Makassar
Kamis, September 22, 2011
Hukum Pelarangan Pemali Bugis Makassar : dimaksudkan sebagai tatanan agar manusia hidup teratur, disiplin dan tidak melanggar pantangan. di teks dan dilisankan dalam bahasa daerah, perihal ini pula merupakan sub pembelajaran dalam sastra daerah. Berpantanglah demi kebaikan dan sebab kearifan, lebih spesifik lagi keadaan pemmali atau pamali ini, menjadi semacam aturan yang tidak tertulis bagi masyarakat budaya Bugis Makassar.
Hukum pelarangan pemali Bugis Makassar ungkapan bersifat pesan yang ditegasi dan teranggap tabu untuk dilanggar. Contoh sederhana pemali : larangan duduk berhimpitan di depan dapur, jangan tidur sambil bersilangan, pantang berbicara sambil makan hingga nasi dari mulut sempat keluar berhamburan. yang bersifa benda misal gumbang/ gentong harus senantiasa terisi air, juga harus menyalakan pelita ketika gelap, dll. Untuk lebih lengkapnya simak hukum larangan pemali Bugis Makassar., semoga memberi manfaat dalam eksplorasi budaya ini. dan terimakasih sudah mampir di sangbaco.web.id.
Buku referensi pelarangan pemali |
Hukum larangan Pemali Bugis Makassar
(Pemali meninggalkan makanan atau minuman yang sudah dihidangkan karena biasa terkena bencana).
Pemali ini memuat ajaran untuk tidak meninggalkan makanan atau minuman yang telah dihidangkan. Meninggalkan makanan atau minuman yang sengaja dibuatkan tanpa mencicipinya adalah pemborosan. Makanan atau minuman yang disiapkan itu menjadi mubazir.
Makanan bagi masyarakat Bugis merupakan rezeki besar. Orang yang meninggalkan makanan atau minuman tanpa mencicipi merupakan wujud penolakan terhadap rezeki. Selain itu, menikmati makanan atau minuman yang dihidangkan tuan rumah merupakan bentuk penghoramatan seorang tamu terhadap tuan rumah. Meninggalkan makanan dapat membuat tuan rumah tersinggung.
"Pemmali pilai bolae narekko de'pa napura bissai penne angnganrengnge"
dilarang meninggalkan rumah (untuk perjalanan jauh) sebelum piring yang digunakan untuk makan, dicuci terlebih dahulu.
Kata "bissai penne", dalam ungkapan pemmali ini tak sekedar berarti "cuci piring" , sebab dalam sinyalemen pengunaan kata bissai penne ini dapat juga berarti memperlakukan wanita/istri dengan merawatnya[1], maksudnya setelah berhubungan badan bersihkanlah keadaan istri.
Pemali ungkapan yang bersifat spontan untuk tidak melanggar yang di pemmalikan / yang dilarang. Pemmali dalam sub pembelajaran sastra daerah dianggap pula bagia dari satra pappaseng / nasehat.
Asal Hukum Pelarangan Pemali Bugis Makassar
Sebab sifatnya adalah nasehat kepedulian agar terhindar dari bahaya atau hal-hal yang tidak diinginkan bahkan memalukan, maka pemali lahir dari penjelajahan/ pengalaman hidup yang disampaikan masyarakat lampau secara turun temurung bahwa perihal pelarangan itu jika dilanggar akan benar-benar memberi/ pelanggarnya memeroleh keburukan lebih jauh mendapat musibah, meskipun pelarangannya kadang tidak rasional, sebagai contoh pelarangan singkat kami paparkan seperti dibawah ini:
1"Pemmali pura manre nappa matinro, menre I' salompongnge".
2"pemmali mangngesso ase riwettu makkumpe' na ellungnge"
3"pemmali tawwe matinro moppang, magatti I' diwelai indo'
4"Enre manekko ana-ana, nasaba Mangngaribini, enrara I' setangnge"
5"Tempeddingi makkunrai e' tudang riolona tange e', monroko lolo bangko"
Pelarangan Pemali Sebab Makna & Moral
Menarik untuk diulas terjemahan pelarangan/ pemali di atas.
1. Pantang tidur setelah makan sebab diapragmamu dapat membesar
2. Pantang mengeringkan padi ketika awan di langit sedang tebal, dapat diartikan mendung
3. Pantang seseorang tidur tengkurap, ibunya dapat meninggal (ket, bagian ini yang termaksud pelarangan tidak rasional)
4. Perintah naik ke atas rumah (sebab rumah model panggung) kepada anak-anak sebab waktu Maghrib setan berkeliaran
5. Pantang seorang gadis duduk di tangga rumah, sebab memungkinkan lambat menikah
Persepsi Makna Pemali
Pelisanan atau menggunakan kata "pemali" lebih memberi dampak mempengaruhi emosional, bahkan terasa pelarangan tersebut tajam bahkan keramat, dibanding menggunakan pelisanan /ucapan "enja/teako", meskipun keduanya kata yang menunjukkan arti yang sama, pada kata "enja/teako" artinya pantang/ jangan. Bahkan memulai pelarangan dengan kata pemali tendensinya : meski dengan tidak rela / terpaksa mengikuti.
Korelasi Pemmali dan Siri'
Apakah pemmali perlu diperhatikan karena erat kaitanya dengan budaya “siri” atau budaya tutur dalam Islam[3], atau terdapat korelasi dengan hukum tertentu secara tekstual (pandangan agama Islam) ? (jika tidak diindahkan maka berdosa (bassung=kualat) dapat pula terjadi atau terkena kecelakaan- kecelakaan.
Apakah pemmali perlu diperhatikan karena erat kaitanya dengan budaya “siri” atau budaya tutur dalam Islam[3], atau terdapat korelasi dengan hukum tertentu secara tekstual (pandangan agama Islam) ? (jika tidak diindahkan maka berdosa (bassung=kualat) dapat pula terjadi atau terkena kecelakaan- kecelakaan.
Kedekatan budaya lisan pemmali bagi masy Maros. Salah seorang tokoh masyarakat di Kab.Maros, SM Alwi Assaggaf, mengaitkanya sebagai salah satu bentuk nahwu (Ilmu Tata Bahasa Arab), sebagaimana dibawah ini.
“Pemmali = kata terapan dari bahasa Arab dari kata "Fiil Madi" (kata lampau), sebab dalam perkembangan hubungan sosial dan adab kita, sesuatu yang diappemmaliang jika dilanggar lebih sering terjadi efek buruk. Seperti pada kalimat dibawah ini,
"Pemmali pura Manre nappa matinro, menre I' salompongnge".
(dilarang langsung tidur setelah makan, sebab ulu hatimu dapat membesar) ia lanjut mengatakan bahwa Rasullullah S.A.W mengingatkan kita untuk berjalan 40 langkah minimal setelah makan”, dan sumber lain menyampaikan.
“Diappemmaliangngi gattung lipa ri ellongnge’, mate maddarai tewwe (dilarang menggantung sarung pada leher biasanya orang mati berdarah) – memadukan baju dengan sarung sebagai kostum hari-hari bagi lelaki Bugis-Makassar adalah tradisi, yang menjadi pelarangan ketika sarung itu digantung ke leher, sinyalemen keburukan ini di indikasikan oleh Andi Radja Karaen Nai’, sebagai bentuk kelemahan ketika dengan mudah musuh menarik sarung sehingga obyek penderita tersebut terjerat lehernya.
“Diappemmaliangngi gattung lipa ri ellongnge’, mate maddarai tewwe (dilarang menggantung sarung pada leher biasanya orang mati berdarah) – memadukan baju dengan sarung sebagai kostum hari-hari bagi lelaki Bugis-Makassar adalah tradisi, yang menjadi pelarangan ketika sarung itu digantung ke leher, sinyalemen keburukan ini di indikasikan oleh Andi Radja Karaen Nai’, sebagai bentuk kelemahan ketika dengan mudah musuh menarik sarung sehingga obyek penderita tersebut terjerat lehernya.
Kausalitas Pemali & Syariat
Meskipun menurut Uzt. Amin, Lc.[4] "sesungguhnya, dalam syariat dan budaya Islam tidak dikenal yang namanya pemmali, dan pelarangan secara tekstual dalam masyarakat Islam hanya mengenal hukum yang terbagi kedalam tiga bagian yaitu : Halal, Samar-samar (subhat) dan Haram ", ia lanjut mengatakan " yang sedikit dekat dengan Pemmali secara substansial dalam budaya tutur kita adalah makruh, sifat hukum " taklifi" berupa pembebanan , dan tentang “ Fiil Madi” sebagai kata kerja berbentuk lampau, berimplikasi sebagai hal-hal yang sudah terjadi (dan jika terjadi hukum kausalitas
–sebab pelarangan karena merusak etika kebudayaan dan tidak bertentangan dengan hukum syariat ,teranggap perlu juga diperhatikan sebab sebuah kaidah ushul fikhi “Asswodatu Muhakkamatu “ terjemahan –adat istiadat itu bisa dijadikan suatu hukum dengan catatan
Sejalan dengan tujuan syariat, Pemali sebagai sub obyek mendapatkan makna dan apresiasi karya sastra, memang setiap orang diberi kebebasan menafsirkan teks-teks sastra tersebut. Hanya, hasil penafsirannya belum tentu mencercap makna yang diinginkan secara utuh sebuah era zaman, namun inilah revitalisasi sederhana itu, Wallahu a’lam Bhisshawab.
Nb : pada akhirnya pandangan masy Bugis secara kakikat atas pamali / pemmali ini berfungsi sebagai alat pengontrol bahkan pemaksa bagi manusia agar dapat melaksanakan seluruh kearifan-kearifan yang dijabarkan dalam berbagai wejangan juga paseng toriolo /atas amanah tetua /nenek moyang.
Sejalan dengan tujuan syariat, Pemali sebagai sub obyek mendapatkan makna dan apresiasi karya sastra, memang setiap orang diberi kebebasan menafsirkan teks-teks sastra tersebut. Hanya, hasil penafsirannya belum tentu mencercap makna yang diinginkan secara utuh sebuah era zaman, namun inilah revitalisasi sederhana itu, Wallahu a’lam Bhisshawab.
Nb : pada akhirnya pandangan masy Bugis secara kakikat atas pamali / pemmali ini berfungsi sebagai alat pengontrol bahkan pemaksa bagi manusia agar dapat melaksanakan seluruh kearifan-kearifan yang dijabarkan dalam berbagai wejangan juga paseng toriolo /atas amanah tetua /nenek moyang.
Daftar Pustaka
Mabbaco, Kaimuddin, 2009, Perilaku Verbal di kab.Maros, Sulawesi Selatan. Penelitian yang dibiayai oleh Dinas Pariwisata dan Budaya.
______
Catatan kaki
[1] Merawat *Menutup dengan cara-cara tertentu , untuk tetap kembali perawan dan bugar.
[2] Menurut referensi Buku Pendidikan Seni Budaya Lokal,
hal,13,Kaimuddin,Mbck.Lontara:Jakarta.
[3] Hamka pernah menyitir, bahwa memiliki rasa malu termasuk salah satu iman bagi
seorang muslim, maka siri’ na pace dapat dijadikan pencegah perbuatan mungkar.
[4] Sarjana lepasan Kairo "Mesir" ,kini mengabdi sebagai guru di SMA PERGIS YAPKI
Maros,
demikianlah paparan pemmali dalam masyarakat Bugis Makassar yang di sekaligus menjadikannya hukum secara tekstual (pertanyaanya apa pandangan agama Islam atas beberapa hal yang di pemmalikan, sebegitu pemmalki maka..... pantas terkena celaka.
____________
Sangbaco.22`0911_ulasan budaya Hukum Pelarangan Pemali Bugis Makassar.
0 comments