Telaah Ayat Mutasyabihat (Tafsir)

Minggu, Juni 23, 2013

Giat serukan untuk berpegang pada Al-Qur’an, namun setelah orang-orang datang mengikuti seruannya, orang-orang tersebut justeru tanpa sadar diajak untuk meninggalkan ajaran Al-Qur’an sedikit demi sedikit tanpa mereka sadari….., salah satu konspirasinya yaitu dengan penguatan pahaman pada kecenderungan mengikuti apa yang samar-samar (mutasyabihat) dari Al-Qur’an untuk mencari -cari ta'wil (memutarkan maksudnya menurut yang disukainya), ia adalah Prof.Dr.Goldhizer.

Telah banyak upaya-upaya konspirasi syetan untuk menyesatkan kaum muslimin dari ajaran agamanya yang haq yang dianutnya.  Mereka berusaha memalingkan orang-orang Islam dari agamanya dengan menggulirkan berbagai macam kekaburan, fitnah syahwat dan fitnah syubhat yang hebat.  Goldhizerpun memulainya….dengan menorehkan pandangan bahwa Al-Quran satu2 nya sumber kebenaran (tanpa Sunnah) seperti pada teks kaidah yang digunakan berikut ini.

“Al-Qur’an sebagai pedoman, petunjuk hidup, maka berpeganglah hanya kepada Al-Qur’an, yang terjaga kemurniannya dari sejak diturunkannya hingga hari kiamat.”

Perkataan-perkataan ini adalah perkataan-perkataan yang haq.   Tidak seorang muslimpun yang akan membantahnya, semua orang Islam pasti akan menyepakatinya. MAKA Ide pengaburan pun bermula didasarkan pada pengetahuannya bahwa Al-Qur’an tidak akan ditolak oleh kaum muslimin yang manapun.

Gejolak konspirasi oleh seorang orientalis Yahudi bernama Prof.Dr.Goldhizer, ia orang yg telah mendalami Islamologi (seluk beluk pengetahuan yang menyangkut tentang Islam).   Ia kemudian mendapatkan beasiswa untuk belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir pada tahun 1873 hingga 1874M.   Dengan pengetahuan yang telah didapatkannya, ia kemudian mencetuskan ide ‘hanya berpegang kepada Al-Qur’an’, dan menta’wilkan ayat-ayat mutasyabihat dalam ide ini, bertujuan agar faham kaum muslimin pada akhirnya lambatlaun ingkar pada al-Quran & Sunnah.

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. 
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Qs.An-Najm : 3-4)

Goldhizer menyebarkan teori-teori pemahamannya dan banyak di antara orang-orang Islam yang tertarik dan lalu menjadi murid-muridnya. Ia bersama dengan pendukung-pendukungnya mendefinisikan fahamnya sebagai ‘pembaharuan Islam’, atau mungkin membentuk kelompok dengan nama2 yang terdengar Islami dll. Meskipun tak dipungkiri pula bahwa adanya serapan pahaman  serupa yang juga terjadi kini oleh penganjur-penganjur kebenaran/ dakwa dengan sangat percaya diri  dalam kecendrungan memberi tafsiran pada ayat-ayat mutasyabihat dengan pena’wilan yang berhubungan dengan pikiran, (sebab salah seorang jamaah mereka menganggap bahwa tafsiran /kitab tafsir adalah hanya buah pikiran ) Banyak orang yang telah terjebak. Goldhizer memahami bahwa kesamaran inilah pilihan yang baik dan dengan kesamaran ayat-ayat mutasyâbihât maka memberi ruang besar untuk membuat kerancuan ini. Dan akhirnya : Orang-orang awam yang telah termakan tipuan mereka secara lengkap kemudian akan berkata : “Ternyata telah cukup bahwa Al-Qur’an itu sudah jelas.  Kriteria orang beriman, orang kafir, orang munafik, ternyata sudah jelas semuanya diterangkan dalam Al-Qur’an”_Dengan menyelisihi firman Allah SWT berikut ini :

Dialah (Allah swt.) yang menurunkan al-Kitab (yakni al-Qur’an) 
kepadamu (Muhammad saw). Di antara ayat-ayat (-nya) ada yang muhkamât, itulah 
pokok-pokok isi al-Qur’an, dan yang lain mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecenderungan kepada kesesatan, maka mereka mengikuti dengan sungguh-sungguh ayat-ayat yang mutasyâbihât untuk menimbulkan fitnah (yakni kekacauan dan kerancuan berpikir serta keraguan di kalangan orang-orang beriman) dan untuk mencari-cari (dengan sungguh-sungguh) takwilnya (yang sesuai dengan kesesatan mereka), padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman dengannya, semuanya dari sisi Tuhan Pemelihara kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan Ulil Albab (orang-orang yang berakal bersih, murni, dan cerah).
(
ayat 7 surah Ali Imran [3] )


Contohnya ayat mutasyabihat berbunyi يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ yadullâhi fawqa aydîhim (tangan Allah di atas tangan mereka) QS al-Fath [48]: 10.

    : Tidak mudah memahami kata yad yang secara harfiah berarti “tangan”. Sebab, memahami apa adanya mengandung arti bahwa Allah mempunyai tangan, dan itu bisa berarti kita menyerupakan  Allah dengan makhluk, padahal Allah jelas tidak sama dengan makhluk, hal inilah pendekatan yang digunakan dalam kidah Mujasimah Karena itu, perlu upaya  keras untuk memahami kata yad.(1)

Kecendrungan akan hal ini tak dinyanah, nusantara kitapun merebak hal demikian menjadi fenomena umum fitnah syubhat yang terjadi, gejala yang dideteksi aliran sesat ini, oleh MUI Pusat sekali meminta keterangan tentang faham mereka saat menisbahkan butir pahaman mereka seperti berikut ini :

*Tidak dapat mengikuti Rasul kalau tidak di Baitullah, sebab Rasul tidak mati, dia abadi. Jadi mengikuti Rasul itu amat penting. (hal. 26).

* Juga pada trasenden firman di dalam surah Thoha ayat 5 yang berbunyi: اَلرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى. Ar-Rahmanu ‘alal ‘arsyis tawa. Artinya : “Allah dan Rasul bersemayam di Arasy.” (hal. 32).

*Dan empat fasal dijadikan Allah dari Muhammad: - Arasy (sekarang disebut Baitullah), disebabkan oleh 13 pembinaannya. 13 Pembinaan itu adalah: (1) Arasy; (2) Baitul Makmur; (3) Baitur Rahman; (4) Baitur Rahiem; (5) Baitul Atiq (Rumah Lama/Kuno); (6) Batu besar tempat keluar onta pada zaman Nabi Luth; (7) Terbit air dari tiga tungku, semasa kiamat Nuh; (8) Kayu tempat Musa munajat kepada Allah; (9) Di dalam Taurat disebut Jantung Alam; (10) Di dalam Zabur disebut Pusat Dunia; (11) Di dalam Injil disebut Sumbu Alam; 12. Di dalam Al- Qur`an disebut Baitullah; (13) Khdza ‘Indallah (Istana Allah), inilah pembinaan terakhir. (hal. 7).

*. Muhammad Abdi Rasulullah (Muhammad pesuruh Allah yang dirasulkan) itu tidak wafat. Dia tidak ada anak laki-laki dan tidak ada anak perempuan, seperti firman Tuhan dalam surah Al-Ahzab [33]: 40. (Mengenal diri dan mengenal Tuhan, hal. 27).
       keterangan : Organisasi ini awalnya mereka tidak mengakui kesesatannya, tetapi setelah saya (M. Amin Djamaluddin) menujukkan bukti kesesatan di dalam buku mereka, akhirnya mereka mengakui kesesatannya, dengan mengatakan bahwa kami alumni sekolah dari Barat (Amerika dan Eropa) dan bukan pe-disiplin ilmu agama, maka kami meminta kepada MUI Pusat untuk membimbing kami kepada ajaran Islam yang lurus (benar) dan kami BERJANJI RUJU’ ILAL HAQ (mau kembali kepada kebenaran). Akhirnya MUI Pusat membimbing mereka kepada jalan kebenaran  (1.1)_

Terburu-buru dalam dakwa pula mengimbaskan kesalahan ini, semisal terasanya kecendrungan "ingin aneh" juga mampu atau sebebas-bebasnya me-ta'wil ayat -ayat mutasyabihat, dan rasa kerasionalan ini dalam multi tafsir menjadikan sugesti ke jumlah jamaah yang banyak.  Tampak pula ciri secara intern yaitu kultus pada kelompok juga  murabbinya saja, selainnya salah…

Tanggap atas tafsiran sebelumnya:
 * Juga pada trasenden firman di dalam surah Thoha ayat 5 yang berbunyi: اَلرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى. Ar-Rahmanu ‘alal ‘arsyis tawa. Artinya : “Allah dan Rasul bersemayam di Arasy.” (hal. 32).

Imam Malik Rahimahullahu Ta’ala telah mengingkari orang yang berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang firman Allah Ta’ala, (Yaitu) Ar-Rahman yang beristiwa’ di atas ‘Arsy. (Thaha: 5)
Bagaimana Dia beristiwa'?
Maka terdiamlah Imam Malik Rahimahullah, keringat beliau Rahimahullah bercucuran kemudian beliau Rahimahullah mengangkat kepalanya seraya mengatakan,
      “Tentang bagaimananya tidak bisa diketahui dengan akal, tentang makna istiwa’ sudah diketahui; beriman dengannya adalah wajib, dan bertanya tentangnya (tentang kaifiyah) adalah bid’ah. Dan sungguh aku khawatir bahwa engkau adalah orang yang sesat.” Maka orang itupun diperintahkan untuk diusir dari majlisnya. (Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 45)_dan ayat2 mutasybihat serupa disikapi oleh kaum Ahlussunnah wal jama'ah, maksud dari ayat yang mengatakan TanganNya adalah kekuasaanNya, wajahNya adalah DzatNya, dan istiwa (bersemayam) adalah Dia menguasai arasy.

Sa’id bin Jubair berkata, “Barangsiapa membaca Al-Qur’an kemudian tidak tahu tafsirnya, maka seakan-akan dia seperti orang buta atau orang badui (Arab gunung).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya 1/60 dengan sanad hasan)

Rasulullah Muhammad saw, ketika berkenaan pertanyaan seorang sahabat Nabi saw. Yang menanyakan kepada beliau mengenai shalat wustha yang terkandung dalam surat al Baqarah ayat 238. Di dalam ayat itu tidak disebutkan secara eksplisit mengenai yang dimaksud shalat wustha. Menurut riwayat Tirmidzi, Muhammad saw. menyatakan bahwa yang dimkausd dengan shalat wustha adalah shalat Ashar.

Bantahan : Tafsir penafsiran mereka mereka enggan merujuk pada sistematika keilmuan tafsir yang ditetapkaln oleh sahabat RA, juga tafsir populer semacam Tafsir Ibnu Katsir (2), Tafsir Al Jalalain (3)atau Tafsir Al-Maraghi (4), atau tetap menggunakan tafsir diatas namun memilah-milah hanya pada yang berkesesuaian saja, dengan pahaman terangkum intern saja) tapi, tidak pada  penafsiran merujuk pada  Asbabunnuzul yaitu ketika tafsiran ayat yang menerangkan tentang latar belakang turunnya suatu ayat. Atau bisa juga keterangan yang menjelaskan tentang keadaan atau kejadian pada saat suatu ayat diturunkan, meski tidak ada kaitan langsung dengan turunnya ayat. Tetapi ada konsideran dan benang merah antara keduanya. Sebab tak gampang itu karena seringkali peristiwa yang terkait dengan turunnya suatu ayat bukan hanya satu, bisa saja ada beberapa peristiwa sekaligus yang menyertai turunnya suatu ayat. Atau bisa juga ada ayat-ayat tertentu yang turun beberapa kali, dengan motivasi kejadian yang berbeda. 


Kecendrungan pada Ayat Mutasyabihat ke ingkar Sunnah
Jika manusia jauh dari Rasulullah, maka ia pun akan jauh dari ajaran Al-Qur’an.
gejala pahaman kontemporer dengan pembutaan pada As-Sunnah atau “cukup Al-Quran sebagai kebenaran mutlak, karena syariat itu HANYA pemahaman dasar”, adalah gejala yang tumbuh menjamur, sehingga ia pun akan buta terhadap pemahaman ajaran Al-Qur’an yang benar. Di India, pada tahun 1899M seorang delegasi kristenisasi Inggris (India merupakan bagian wilayah koloni Inggris pada waktu itu) bernama Maulawi Abdullah Cakralawi (5) menulis sebuah tafsir Al-Qur’an dengan penolakan terhadap As-Sunnah (hadits-hadits) yang tegas.

*Abu Qilabah berkata: “Jika kamu menyampaikan As-Sunnah kepada seseorang lalu dia berkata : ‘Tinggalkan As-Sunnah, mana dalil al-Qur’an?’ Ketahuilah… dia sesat”. (Thobaqot Ibnu Sa’ad 7/I84)

*Abul-Qosim al-Ashbahani berkata : “Ahli Sunnah dari ulama salaf berkata : ‘Apabila ada orang yang mencela atsar (keterangan/hadits) maka HARUS dicurigai keislamannya” (Al-Hujjah fii Bayanil-Mahajjah 2/428)

*Imam Al-Barbahari berkata : “Jika kamu mendengar seseorang mencela atsar atau menolak atsar atau ingin selain atsar, curigailah keislamannya. Tidak diragukan, dialah penyembah hawa nafsu, ahli bid’ah.” (Syarhus-Sunnah : 51)

Tentu saja ilmu asbabun-nuzul ini wajib dan mutlak terikutkan dalam tafsirkan Alquran. Dan memang ilmu ini merupakan salah satu bagian dari sekian banyak syarat yang harus dimiliki oleh mufassir ( beberapa syarat yang harus dimiliki oleh seorang Mufassir (6)

Telaah Kamus Tafsir Sufistik atau Tasawuf

Dibelahan bumi ini pun banyak tafsir bercorak Sufistik atau Tasawuf, mereka dalam menfasirkan Alquran, para sufi cenderung menakwilkan ayat-ayat-Nya sesuai pikiran, perilaku dan pancaran ruhani mereka” (7) . Para sufi menjadikan Alquran sebagai landasan bagi langkah dan jalan (tariqah) yang mereka tempuh. Adapun tokoh dari metode tafsir ini adalah Muhyiddin Ibnu Arabi. Tafsir yang bercorak sufistik atau tasawuf ini tidak dilakukan atau terkumpul ke dalam sebuah kitab tafsir tersendiri khusus, melainkan dilakukan dengan cara penafsiran-penafsiran secara parsial. (8)

     Contoh penafsiran Ibnu Arabi yang bercorak sufistik atau tasawuf ini berkanaan dengan surat ar Rahmaan ayat 19 yang berbunyi “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu”. Ibnu Arabi menafasirkan ayat tersebut sebagai “Yang dimaksudkan dengan dua lautan oleh ayat tersebut ialah lautan subtansi raga yang asin dan pahit dan lautan ruh yang murni, yang tawar dan segar yang keduanya saling bertemu di dalam wujud manusia” (9).

Tafsir sufistik-teoritik dibangun atas premis-premis ilmiah yang sudah terbangun dalam pikiran seorang sufi dan kemudian diterjemahkan menjadi tafsir Alquran pada tahap selanjutnya. Sedangkan tafsir sufistik-simbolik adalah kebalikan dari tafsir sufistik-teoritik, seperti yang diungkapkan oleh al Banna bahwa

tafsir sufistik-simbolik tidak terfokus pada premis ilmiah tertentu, tapi berdiri di atas kegiatan olah spiritual yang ditetapkan seorang sufi, sampai pada taraf di mana dia berhasil meyakini bahwa ungkapan-ungkapan Alquran itu merupakan simbol-simbol suci yang hinggap pada hatinya setelah melewati fase yang gaib, sehingga ayat-ayat tersebut menampilkan pengetahuan-pengetahuan yang Maha Suci (10)

Serangkaian Pelemahan sebab ayat-ayat mutasyabihat

 *Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha : 5)

Al-Imam Al-Humaidiy rahimahullah juga berkata : ayat-ayat serta hadits-hadits yang serupa dengan ini (tentang Asma dan Shifat Allah), maka kami tidak menambah-nambahi dan tidak pula menafsirkannya (menta’wilkannya). Kami berhenti atas apa-apa yang Al-Qur’an dan As-Sunah berhenti padanya. Dan kami berkata : “(QS. Thaha : 5), barangsiapa yang berpendapat selain itu, maka ia seorang Mu’aththil Jahmiy” [Ushuulus-Sunnah oleh Al-Humaidiy, hal. 42, tahqiq : Misy’aal Muhammad Al-Haddaadiy; Daar Ibn Al-Atsiir, Cet. 1/1418].

Imam Malik ditanya tentang firman Allah surat Thaha : 5, Imam Malik menjawab: Istiwa’ itu telah diketahui. Bagaimana istiwa’nya tidak diketahui. Beriman kepadanya wajib. Sedangkan, bertanya tentangnya adalah bid’ah. Dan saya melihat Anda tersesat. (11)

“Mereka (para ulama) Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya.

“Mereka (para ulama) Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya.

Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui… (Qs.An-Nisaa‘ : 113)

Dalam ayat di atas Allah menggunakan lafazh وَأَنزَلَ (dan telah menurunkan) untuk Al-Kitab dan Al-Hikmah.   Al-Kitab dan Al-Hikmah adalah dua yang sama-sama diturunkan oleh Allah.

Ibnu Jarir Ath-Thobari dan Ibnu Katsir berkata : “Al-Hikmah ialah As-Sunnah.”  (Tafsir Ibnu Katsir 1/555, Tafsir ath-Thobari 3/274)

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Qs.An-Najm : 3-4)

Apa yang diucapkan Rasulullah SAW adalah Al-Qur’an (yang dibacakan) dan juga ajaran As-Sunnah.

Al-Qurthubi di dalam tafsirnya mengatakan : “dalam ayat ini ada penjelasan bahwa As-Sunnah adalah wahyu yang diturunkan dari Allah SWT “.

 ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.

Kemudian beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata “Mu’tazillah :  menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu : dengan ilmu Kami”

Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata :“Bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala mempunyai dua mata tanpa perlu ditanyakan bagaimananya (kaifiyah-nya), sebagaimana Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman : ‘Yang berlayar dengan pemeliharaan (pengawasan mata) Kami” (QS. Al-Qamar : 14)” (12)

Tambahan berikut beberapa contoh ayat-ayat Mutasyabihat dengan line pe-ta’wilan yang rentang disibgah menjadi Akidah Mujasimah (1)

*Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah Allah (Al-Qasas :88),

*Tangan Allah di atas tangan mereka (Al-Fath : 10),

*Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami (At-Thur : 48),

*(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah,Yang bersemayam di atas Arasy.(Thaha : 05)

Dari Abu Razin berkata: Saya pernah bertanya: “Ya Rasulullah, dimana Allah sebelum menciptakan makhlukNya?” Nabi menjawab: “Dia berada di atas awan, tidak ada udara di bawahnya maupun di atasnya, tidak makhluk di sana, dan ArsyNya di atas air”. [HR. Tirmidzi (2108), Ibnu Majah (182), Ibnu Hibban (39 -Al-Mawarid), Ibnu Abi Ashim (1/271/612), Ahmad (4/11,12) dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/137). (13)

*Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata:

 “Arsy berada di atas air, dan Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy, yang mengetahui apa-apa yang kalian lakukan” [HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir; shahih].

Dari Ibnul Mubarok, dari Sulaiman At Taimi, dari Nadhroh, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

 “Ketika hari kiamat ada yang menyeru, “Apakah datang pada kalian hari kiamat?” Orang yang hidup dan mati pun mendengar hal tersebut, kemudian Allah pun turun ke langit dunia.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 296. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih sesuai syarat Muslim sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 94, hal. 126]_ ,wallahu a' lam bisshawab, wassalam bersambung...

_____________
Pnot :

1. Akidah Mujasimah :  men-jisim kan Allah yg mempunyai beberapa bagian tubuh layaknya manusia yaitu mata dan telinga. Menunjukan tangan ke arah mata tidaklah dimaknai Allah zhohirnya mempunyai mata...akn tetapi disifati yg namanya Bashir ( Maha Melihat ) dan Kaunuhu Bashirun ( Fi'il dari sifat maha melihat-Nya )Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu : Maqaalatul-Islaamiyyiin) pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat tertentu, atau tidak berada di suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ; maka beliau berkata : ya akhilkariim, sama seperti di surah al mulk ayat 1 disebutkan tangan, apakah tangannya disifati tangan seperti tangannya manusia? (tanpa takwil, bahwa tangan disitu adalah kekuasaan seperti yg dikatakan oleh sebagian orang, ini merupakan penafsiran yg sangat fatal)

1.1.  ALIRAN – ALIRAN SESAT DI INDONESIA – H.M. Amin Djamaludin Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam Majelis Ulama Indonesia (Harian Terbit, Rabu 12 Juli 1995).

2. Tafsir Ibnu Katsir :Tafsir Ibnu Katsir merupakan salah satu kitab tafsir yang paling banyak diterima dan tersebar di tengah ummat ini. Imam Ibnu Katsir telah menghabiskan waktu yang sangat lama untuk menyusunnya, tidak mengherankan jika penafsiran beliau sangat kaya dengan riwayat, baik hadits maupun atsar, bahkan hampir seluruh hadits periwayatan dari Imam Ahmad bin Hanbal -rahimahullah- dalam kitab Al Musnad tercantum dalam kitab tafsir ini. Metode penyusunan yang dilakukan oleh Imam Ibnu Katsir adalah dengan cara menyebutkan ayat terlebih dahulu, kemudian menjelaskan makna secara umum, selanjutnya menafsirkannya dengan ayat, hadits, perkataan Sahabat dan tabi’in. Terkadang beliau menjelaskan seputar hukum yang berkiatan dengan ayat, dengan dukungan dalil lain dari Al Quran dan hadits serta dilengkapi dengan pendapat para Ahli Fiqh disertai dalilnya apabila masalah tersebut dikhilafkan diantara mereka, selanjutnya beliau merajihkan (memilih dan menguatkan) salah satu pendapat tersebut.

3. Tafsir Al Jalalain :Tafsir Al Jalalain adalah tafsir ringkas yang ditulis oleh dua orang Al hafidz/Al hafidzaan, yaitu Al Hafidz Al Mahali dan Al Hafidz As Suyuthi. Mereka berdua digelari dengan Jalaluddin, oleh karena itu dinamakan Al Jalalain, yaitu tafsir dari Jalaluddin Al Mahali dan Jalaluddin As Suyuthi. Kemudian karena Jalaluddin Al Mahali meninggal dunia sebelum menyelesaikan tafsirnya tersebut maka diselesaikan oleh As Suyuthi.

4. Tafsir Al-Maraghi: Tafsir Termasyhur dari Abad Dua Puluh (Kitab Tafsir ini sangat menarik sekaligus kontroversial, karena ditulis oleh ulama modern yang pemikirannya dianggap dekat dengan kaum mu’tazilah.Ulasan tafsir-tafsir kontemporer ini ini akan dimulai dengan yang paling populer, yakni Tafsir Al-Maraghi karya ulama besar Universitas Al-Azhar Mesir, Syaikh Ahmad Musthafa Al-Maraghi. Tafsir yang terbagi dalam 10 Jilid itu diterbitkan untuk pertama kalinya oleh Maktabah al-Babi al-Halabi (Kairo) pada tahun 1369 H/1950 M atau dua tahun sebelum penyusunnya wafat. Meski di kalangan penganut tafsir salaf dianggap kontroversial dan banyak ditinggalkan, Tafsir Al-Maraghi sangat digemari oleh para pelajar yang mengkaji tafsir di bangku perguruan tinggi. Gaya penafsirannya dianggap modern, yakni berusaha menggabungkan berbagai madzhab penafsiran, terutama metode tafsir bil ma’tsur (berdasarkan hadits) dan tafsir bir ra’yi (berdasarkan logika), yang belakangan mengundang kontroversi).

5. Maulawi Abdullah Cakralawi : menulis sebuah tafsir Al-Qur’an dengan penolakan terhadap As-Sunnah (hadits-hadits) dengan tegas. Syech Cakralawi adalah tokoh terdepan ingkar-sunnah India, bahkan namanyapun mendunia.   Ia adalah orang yang brilian dan religius, namun sesungguhnya ia adalah orang bayaran Inggris yang ditugasi mengacak-acak Islam dari dalam dengan menyebarkan faham sesatnya itu.

6.  Kiteria / Syarat Mufassirin/ Ahli Tafsir : Mengantarkan tafsir tidaklah demi kepentingan pribadi, kelompok dan jamaah ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Juga tidak terdorong oleh ikatan nafsu, dendam, cemburu, trauma dan perasaan-perasaan yang membuatnya menjadi tidak objektif. Dia harus betul-betul meninggalkan subjektifitas pribadi dan golongan serta memastikan objektifitas, profesionalisme dan kaidah yang baku dalam menafsirkan. Sebab lain pentingnya tafsir dalam keterkaitan yaitu :   

    - Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran : Karena Al-Quran turun dari satu sumber, maka tiap ayat menjadi penjelas dari ayat lainnya, dan tidak saling bertentangan. Sebelum mencari penjelasan dari keterangan lain, maka yang pertama kali harus dirujuk dalam menafsirkan Al-Quran adalah ayat Al-Quran sendiri. tidak boleh sembarangan membuat penjelasan apa pun dari ayat yang ditafsrikannya, kecuali setelah melakukan pengecekan kepada ayat lainnya. Hal itu berarti juga bahwa harus membaca, mengerti dan meneliti terlebih dahulu seluruhayat Al-Quran secara lengkap, baru kemudian boleh berkomentar atas suatu ayat. Sebab boleh jadi penjelasan atas suatu ayat sudah terdapat di ayat lain, tetapi dia belum membacanya.

   - Pentingnya tafsir Al-Quran sebab sangat berhubungan dengan As-Sunnah : Sebuah implementasi dari pengetahuan setelah  membaca semua hadits nabi secara lengkap, dengan memilah dan memmilih hanya pada hadits yang maqbul saja. Tentu Tidak pada penggunaan hadits yang mardud seperti hadits palsu dan sejenisnya. Karena kekuatan dan kedudukan hadits nabi, pada hakikatnya berasal dari Allah juga. Jadi boleh dibilang bahwa hadits nabi sebenarnya merupakan wahyu yang turun dari langit. Sehingga kebenarannya juga mutlak dan qath'i sebagaimana ayat Al-Quran juga.

-Merujuk hendaknya pada Mereka Perkataan Shahabat : Para shahabat nabi adalah orang yang meyaksikan langsung bagaimana tiap ayat turun ke bumi. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang justru menjadi objek sasaran diturunkannnya ayat Al-Quran. Maka boleh dibilang bahwa orang yang paling mengerti dan tahu tentang suatu ayat yang turun setelah Rasulullah SAW adalah para shahabat nabi SAW. Maka tidak ada kamusnya bagi mufassir untuk meninggalkan komentar, perkataan, penjelasan dan penafsiran dari para shahabat Nabi SAW atas suatu ayat. Musaffri yang benar adalah yang tidak lepas rujukannya dari para shahabat Nabi SAW.

       - Merujuk kepada Perkataan Tabi'in : Para tabi'in adalah orang yang pernah bertemu dengan para shahabat Nabi SAW dalam keadaan muslim dan meninggal dalam keadaan muslim pula. Mereka adalah generasi langsung yang telah bertemu dengan generasi para shahabat. Maka rujukan berikutnya buat para mufassir atas rahasia dan pengertian tiap ayat di Al-Quran adalah para tabi'in.

        - Menguasai Bahasa Arab, Ilmu dan Cabang-cabangnya :Karena Al-Quran diturunkan di negeri Arab dan merupakan dialog kepada kepada orang Arab, maka bahasanya adalah bahasa Arab. Walaupun isi dan esensinya tidak terbatas hanya untuk orang Arab tetapi untuk seluruh manusia. Namun kedudukan Arab sebagai transformator dan komunikator antara Allah dan manusia, yaituAl-Quran menjadi mutlak dan absolut.Kearaban bukan hanya terbatas dari segi bahasa, tetapi juga semua elemen yang terkait dengan sebuah bahasa. Misalnya budaya, adat, 'urf, kebiasaan, logika, gaya, etika dan karakter.Seorang mufassir bukan hanya wajib mengerti bahasa Arab, tetapi harus paham dan mengerti betul budaya Arab, idiom, pola pikir dan logika yang diberkembang di negeri Arab. Karena Al-Quran turun di tengah kebudayaan mereka. Pesan-pesan di dalam Al-Quran tidak akan bisa dipahami kecuali oleh bangsa Arab. Tidak ada cerita seorang mufassir buta bahasa dan budaya Arab. Sebab bahasa terkait dengan budaya, budaya juga terkait dengan 'urf, etika, tata kehidupan dan seterusnya.Dan kalau dibreak-down, bahasa Arab mengandung beberapa cabang ilmu seperti adab (sastra), ilmu bayan, ilmu balaghah, ilmul-'arudh, ilmu mantiq, dan lainnya. Semua itu menjadi syarat mutlak yang harus ada di kepala seorang mufassir.

         -Ahli /Pakar Cabang-cabang Ilmu Terkait Tafsir :Kita sering menyebutnya dengan 'Ulumul Quran. Di antara cabang-cabangnya antara lainilmu asbabunnuzul, ilmu nasakh-manskukh, ilmu tentang al-'aam wal khash, ilmu tentang Al-Mujmal dan Mubayyan, dan seterusnya.Tidak pernah ada seorang mufassir yang kitab tafsirnya diakui oleh dunia Islam, kecuali mereka adalah pakar dalam semua ilmu tersebut.

        - Kontemplasi/ Pemahaman yang Mendalam :Syarat terakhir seorang mufassir adalah dia harus merupakan orang yang paling paham dan mengerti tentang seluk belum agama Islam, yaitu hukum dan syariat Islam. Sehingga dia tidak tersesat ketika menafsirkan tiap ayat Al-Quran.Dia juga harus merupakan seorang yang punya logika yang kuat, cerdas, berwawasan, punya pengalaman, serta berkapasitas seorang ilmuwan.Demikian sekelumit syarat mendasar bagi seorang mufassir sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Manna' Al-Qaththan dalam kitabnya, Mabahits fi 'Ulumil Quran. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan.

7. (Al Usiy, 2002: 253).
8. (Syurbasyi, 1999: 159)
9.  dalam  : Al Usiy, 2002: 154)
10.  dalam  : Al Banna, 2005: 68).
11. Imam Malik, Syarhul Aqidah Wasitiyah,  hal. 64.
12. Al-Ibaanah, hal. 9; Daar Ibni Zaiduun, Cet. 1.
13. Lihat As-Shahihah 6/469)].

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images