Mulia Sebab Nasab ?

Senin, September 09, 2019

Kebanggaan pada leluhur merupakan fenomena yang dahulu sering juga terjadi pada masa Rasulullah SAW, hal tersebut dinilai sebagai keburukan sifat, dan hal ini sering mengalir dalam diri seseorang tanpa disadarinya. Penyakit hati akut, sebab ia  melihat moyangnya memberikan harga yang membuatnya lebih tinggi dari yang lain,  merasa lebih unggul dengan moyang-moyang itu, dan orang lain berada di level yang lebih rendah.


Mulia Sebab Nasab ?


 “Inna akramakum ‘indallahi atqokum”. (Sesungguhnya paling mulianya kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa). Jangan terlena, sebab amal shaleh lebih utama ketimbang membanggakan nasab mulia.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS. Al Hujuraat: 13).

Keturunan memang penting, tetapi menjadi bermasalah ketika terlalu membangga-banggakan keturunan (nasab). Tak sedikit orang di dunia ini yang terus larut dalam aliran perasaan membanggakan diri sebagai keturunan bangsawan. Tentunya itu bermasalah dengan makna kemuliaan sesungguhnya dalam ajaran Islam. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran, kemuliaan yang sesungguhnya ialah berdasarkan ketakwaan seseorang.

Bahwa kemuliaan seseorang berdasarkan ketakwaan menunjukkan bahwa derajat mulia bukan dilahirkan, tetapi perlu diusahakan dengan sungguh-sungguh.

Ini bermakna semua sama di hadapan Alah. Ini juga bermakna bahwa merasa diri lebih mulia dari orang lain (hanya karena keturunan) adalah suatu kesombongan yang berdosa.

Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, Allah tidak suka hamba-hambaNya memakai milikNya: “Keagungan adalah sarungKu dan kesombongan adalah pakaianKu. Barangsiapa merebutnya (dari Aku) maka Aku menyiksanya” (HR. Muslim).

“Tidak masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan” (HR. Muslim).

Rasulullah SAW tidak pernah membangga-banggakan keturunannya, juga tidak mengajak keturunannya untuk merasa bangga karena ayahnya seorang Nabi. Semua diperlakukan sama, termasuk di hadapan hukum.

Karena itu, dari pada menghabiskan waktu dan pikiran untuk membanggakan keturunan, lebih baik bekerja sama untuk meningkatkan ketakwaan diri. Yang ini lebih bermanfaat dan berpahala, serta menjauhkan diri dari perbuatan yang mengandung dosa.

 _Oleh: Sang Baco (Tinjauan Pustaka)

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images