Jarak Pandang dari Bantaran Sungai

Jumat, November 30, 2012

Bersenyawa aroma batu dan ikan meloncat tak seperti dulu ketika seorang raja tanpa pelana menggaris tanah sepanjang perjalanannya dan membentuklah sungai Marusu , ya sore mengekal dalam kaleidoskop yang hidup dalam warna masa lampau..., mengerang di bantaran sungai dan kuharus menculikmu*, 

Jarak Pandang dari Bantaran Sungai : sebab begitu banyak yang telah terampas pappaseng, sipakatau dan pandangan akhirat yang sungguh jauh...maya..., ketika aku sendiri pantulan cermin sungai kebayang-bayang diri gramatik, dan...aku seperti hantu tegak di langit biru, jika bukan di bantaran sungai, maka  sebuah perulangan kepura-puraan dari berbagai daratan yang lebih sibuk..., aku masih disini dan anak-anak berlarian sepulang mengaji, menggenapkan sore dengan berloncatan dari ranting pohon ke sungai.

curi pandang  bantaran sungai sengkang
Maka angin juga perahu merayakan pertemuan di bantaran sungai ini,  angin yang mengeos dari lembah Pangngia lalu mendaki gunung Bulusaraung, kau mengenal jejak ini "sebuah jejak yang tersimpan dalam liang sejarah ketika Toakala merebus dirinya sendiri menjadi : kera raksasa putih". 
Nelayan  yang  mengayuh sampan hingga ke muara dan  mencatat jarak kelam dengan selaksa perasaan ?, disini ada ikan yang siap dipepes untuk sekali santap dan sebagianya mengisi warung-warung pinggir jalan dengan asap yang menggoda pejalan kaki.

menunggumu di bantaran sungai
Jarak Pandang dari Bantaran Sungai sebenarnya tanggapan sungai terhadap  Hedonisme zaman....

Atas jarak masa lalu, sekali itu pula a'resa resa menegas sebagai tradisi lewat sekelumit peristiwa yang membuat kita mengerti akan sebuah keterbukaan pandangan, ya..sebuah simbol kebahagiaan dan pemanjatan doa-doa bagi  raja dan kelestarian alam yang disampaikan dengan lagu berbahasa Makassar seakan melupakan waktu yang  terus bergulir, suara mereka  terdengar saling bersahutan dan berbalas-balas, senandung lagu   kadang terdengar lembut, kerap pula datar ataupun melengking, dan masyarakat Marusu mengenalnya dengan senandung “ Kadang Dio"ketika kucuri pandangmu dari cermin masa lampau itu, maka berkisahlah sebuah kerajaan dekat pesisir yang menandai pengasih tuhan atas impuls keterbukaan dan kedekatan komunikasi secara intens antara masyarakat dan pejabat pemerintahan atau kerajaan.  

Atas polusi zaman maka jarak pandangan meredam dan ketelanjangan me-ninabobo-kan ruas-ruas rahasia, pada habitat sungaimu sekali itu aku menelusur estetik-mu  dan ku malu...: masih dunia belum bersahabat pada kearifan lalu yang melatari jernihnya sungai-mu juga ketulusan suara mengaji anak-anak kita  yang menantang juga mengasah-mu. 

Akhirnya tatap matahari tenggelam menciumi tanah dan sekumpulan pandangan hidup yang khas juga terikat, bahwa "langit masih itu-itu saja, biru dan serupa tapi mengenalkan farian masalalu itu. Dari bantaran sungai Marusu, senja dan keriuhan yang hanya jatuh di halaman pengasih tuhan ini: melambaimu, ia tak harap kau jauh.

Di sini dan seperti sungai ribuan lainnya, air jernih berbatasan dengan batu yang abu-abu dan lumut coklat kusam. Tapi tiba-tiba berubah secara dramatis seperti pelangi, disini meruak, dingin dan penuh tulisan, tanpa.... siapapun. Jika saja kau di sini ?.____. by : Kaimuddin mbck, (Kassi,17 juli2011)
Link Terkait perihal :perlawanan dari bantaran sungai" 

Esai : Hedonisme versus Pinggir Sungai
Pulang dan...sebuah berita yang memekak telinga, maka bacalah "rindu kampung halaman", kendatipun engkau hendak pulang tergesa-tergesa ke tempat Ibu mengekalkanmu kasih pertama kali, ya kampung halaman itu sebuah negeri yang sedang bertahan atas perlawanan hedonisme. Tapi sekali lagi bacalah mereka... anak-anak itu tak bersendal dan bercelana lalu coba menceritakan padamu tentang persetubuhan tiram....sebuah catatan yang menyembunyikan rahasia ke-dalam sungai nan merupakan perlawan atas kehidupan kontemporer. 


festival perahu hias 1973


You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images