Tradisi A' Resa-resa Simbol Demokrasi Terbuka

Minggu, Desember 09, 2012

Simbol Kerajaan Demokrasi Terbuka mengenalkan Tradisi "A resa-resa", catatan ulasan budaya menandai  perjalanan raja bersantai kepantai yang surut di salahsatu tepian di muara Bontoa maros,  tampak suasana santai maka raja beserta rombongan di iringi  dayang-dayang istana dan keluarga,  para gadis berkostum khas Baju Bodo dengan anting khusus dalam perayaan tersebut menggunakan "Bangkara ta' rowe", sebuah anting panjang khas di gunakan dalam perayaan atau tradisi dengan istilah  A' resa-resa di Bontoa Maros ini.

Panorama yang indah di sebuah pesisir, ketika air sedang pasang surut tampak jelas pasir putih di antara sekumpulan tebaran kerang, pun angin dengan manja menarik-narik ranting kelapa,  seakan telah terjalin persahabatan masa lampau.  ya menorehlah  narasi budaya ini di pesisir daerah Bontoa Maros. Menelusuri jejak ini seakan mengembalikan jeda kenangan kita pada masa lalu, tatkala seorang raja merindukan suasana pantai, dan perhelatanpun dimulai sebagai  rekreasi ke tepi pantai, tepat ketika air sedang pasang surut, : aksi dimulainya tradisi A Resa-Resa.

Makna tradisi "a' resa resa" , sebuah implementasi masyarakat budaya atas waktu dan keadaan, yang memungkinkan adanya atau menerimanya raja  pertanyaan masyarakat, bahkan juga keluhan mereka. dengan keterbukaan dengan bebas menyampaikan pendapat pada raja yang berkunjung ke pesisir

Selalu ciri ini “Baju Bodo merah”, (sebagai salah satu warna yang lumrah dipakai oleh masyarakat berstratifikasi Tu Deceng dan Ata kecuali warna hijau, kuning dan ungu adalah warna pakaian milik keturunan bangsawan ), kostum adat baju bodo tersebut yang dipakai oleh gadis-gadis, terpadu dengan asesori khas yang menggantung di telinga para gadis, dikenal dengan nama ”Bangkara Ta′rowe” atau anting panjang yang menggantung. 

Rombongan gadis- gadis yang menengai pembesar negeri itu, senandungkan aru “Kadang Dio”, semacam ungkapan pemanjatan doa-doa bagi raja, dan kelestarian alam yang disampaikan dengan lagu /elong kelong bahasa Makassar.

Sejuk aura pantai, seakan melupakan waktu yang terus bergulir, suara mereka terdengar saling bersahutan dan berbalas-balas, senandung lagu tersebut kadang terdengar lembut, datar kerap pula melengking. Lagu “ Kadang Dio “tersebut diiringi oleh “kacaping” (kecapi –alat musik petik khas Sulawesi Selatan bentuknya menyerupai perahu) terkadang dipadukan dengan gambusu (alat musik resitas dengan cara dipetik ala kecapi dengan dawai menggunakan tali nilon) sebagai melodi, musik di mainkan oleh seniman, adapun irama lagu dengan tempo diatur oleh ritme suara Rabana. "Beberapa saat kemudian panorama pantai surut tersebut, teriring dengan teriakan gadis-gadis yang kakinya teriris oleh kerang-kerang yang memenuhi pasir putih" Dg Teka.
Keharmonisan itu berjalan tanpa kendali menggenapkan keindahan dirinya sebagai alam pa’ resa-resakkang.
_______________________

Pesan-pesan kultural bersifat demokrasi masyarakat budaya ini, alamat mengemukakan curahan hati kepada pemimpinnya, tanpa merasa terbebani akan konsekuensi dari kesalahan berbahasa juga dapat terjadi berupa permintaan sesuatu kepada raja negeri ini
:sebuah keterbukaan komunikasi yang dapat di tandai dengan kemajuan sebuah kearifan peradaban budaya, hal ini terkait juga dengan bangun syair dari rangkaian pappaseng yang dicipta oleh masyarakat lampau Kab. Maros.

Pelajaran dari tradsi ini, mengindahkan generasi  tetap tumbuh secara natural oleh sebuah sistim, yang mencipta kondisi "bebas menyampaikan pendapat, bahkan di harapkan kritis", demi sesuatu yang juga harus tumbuh sebagai kompleksitas /farian dari hidup ini untuk tegak bahagia bersama.
"ri paui mattake-takke, na simata macinnong ri 
mangkalingae nasaba pada tana ri lettuki.

baju bodo merah
Sebab sumber Dg.Teka dari daerah pesisir kampung Rea-Rea, Bontoa Maros, teks lagu kadang dio ini sampai pada peneliti. Adapun salah satu teks lagu tersebut seperti berikut ini ;


Anne naung turungangku daeng,
Labuangku masinoa
Ia mammalo, Ia sengka a’resa-resa’,
Inakke tama pa’risa, Rima lette’ labuanna,
Lanri ngallenu, Gusung pa’resa’ resakkang

Odende karaengku a’ mata jamarro
Ikambe laninring nakku antayang rigusung dalima
Ammio nawa-nawa riesa’na tamparang
Mattamparang mami pangngadakkang
Appakalabbiri ammuntui a resa-resa

Sebagai bentuk revitalisasi budaya jika tidak karena sumber awal (Andi Radja Karaeng NaI) tentulah tradisi ini terputus atau tak diketahui masyarakat belakangan karena hempasan gelombang hiruk pikuk perjalan sejarah bangsa, serta kerasnya gelombang arus teknologi informasi yang melumpuhkan semua sendi dan akar tradisi bangsa ini.___ Karya tulis : Kaimuddin.mbck 

~~~
Sangbaco.web.id
Buku "Kearifan Budaya Lokal", 
menguat Tradisi A' Resa-resa simbol demokrasi terbuka Kerajaan

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images