Puisi: Angin adalah jarak hujan di pipimu
Minggu, Agustus 12, 2012
Seperti hujan yang rintiknya bebas basahi pelosok-pelosok negeri, bahkan di ruahnya sungai mencipta arus, ia hujan, sungguh mencipta taqdirnya sendiri, begitu kuasa. Tapi tak demikian mudah angin menerima refresentasi demikian, jika hal itu berhubungan dengan rasa yang mengerang di hatinya. Ia angin mawas menatap hujan, dan demikian tekad menyalakan nyalinya, demi tempiaskan hujan, jika saja hujan hendak jatuh di pipi seseorang, uh..sungguh ratusan cerita dalam Puisi tercipta, "ia angin, adalah jarak bagi hujan. Tulislah puisi ini sebagai ujud perlawanan angin dan bacalah juang hujan terhadap kekasihnya, cintanya..., simak saja puisi berikut.
Puisi: Angin adalah jarak hujan di pipimu
Ringan gerak angin itu, menggoyang-goyangkan daun, agar sisa hujan tempias, ia angin selalu begitu, dan tahu bahwa titik-titik hujan itu tak harus jatuh di pipimu. Angin gembira ketika amuk hujan dan pipimu tetap kering, bersih.
ia, angin selalu begitu, tapi-pun, " Tak berharap kau mengetahuinya".
Sebab Cahaya Matamu
ia angin resah, ketika kau hendak beranjak dan seperjalananmu kau dengar erangan serigala, meskipun kau tahu, ia kesekian kali menunggumu, hanya untuk bisa menatap ke dalam bening matamu. Katanya "matamu adalah laron-laron yang mengumpuli cahaya, dan tatapan itu selalu baru selalu biru.
Hujan Mengajarka Rindu
Bisik antara desau angin, tentang cumbu "hujan" yang
Pakar kata SMS berceloteh tentang Rindu hujan
*Hujan hanya peristiwa biasa, menyenyakkan tidurmu atau mengingatkanmu tentang seseorang yang lama kau rindukan, jangan pernah menunggunya...mungkin ia kehujanan mencarimu...
*Dari penjara hujan, kita hanya memecah sunyi dan itu sudah cukup untuk saling memiliki juga menghianati. entahlah.....
*hujan menggenang rindu, adalah kubangan yang memantulkan warna malam, warna kenangan yang paling keras , tak tertakar.
*Dalam celoteh hujan aku ingin menjadi rintik dan mengalir di setipa selangkangmu, Ijinkan aku menjadi hujan . (katamu "teaja..ecece bahaya..!)
*Beringas celoteh hujan-mu, bak aroma tanah yang hambar dan mengabu-kan jejak ziarah kita. Matamu seperti tak mau tahu, kapan hujan harus redah.
*Sungai di sampingku ini mulai jernih tanpa di sentuh hujan selama 2 hari, begitu girang rindu berlayar di atasnya, begitu harap cinta berlabuh pada pantai yang tepat,
*celoteh hujan menjelma sungai menciptakan dermaga, jangan singgah di dermaga manapun, sebab semua dermaga tersenyum padamu_
*Musim meranggas dan seluruh kita adalah hujan,begini keras basah itu sedang kita belum sampai rumah, aku diam dan kau menertawakan sikapku, padahal aku merasa telah memelukmu: kita hujan penuh sesak juga rintih yang tak jelas.
*Malam dan resap hujan di rambutmu adalah gigil yang renyah, seberapa lama..?, aku tak peduli.
*Hari hujan dan angin sebegini beku, kau mulai sedih padahal kelopak bunga jam 9 dihalaman rumah telah mengajarmu tegar, meski jam 10 pagi kemudian iapun tak rela kau menangisi kematiannya. hujan sedih dan bunga itu tetap tersenyum
*sejuk hujan dan aku memeluknya. Maka doa henti hujanmu : kita berkelahi...!
kata Ustadz di suatu pengajian
"Sebelum kau pejamkan matamu, sebelum kau lelapkan dirimu, sebelum hilang sadarmu, dan sebelum segalanya maka Bukalah matamu dan resapkanlah, bahwa "Katakanlah, Dia-lah Allah Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia" (QS Al Ikhlas 1-4)
____
Hujan Mengajarka Rindu
Bisik antara desau angin, tentang cumbu "hujan" yang
mampir di pelupuk matamu, "ingatkah kau saat hujan membasahi
seluruh perasaan kita ? : itu memabukkan". Dan diam-diam, kita berterima kasih pada hujan, aku hanya tahu bahwa saat seperti itu
"aku selalu rindu padamu.
ah... mengenangnya aku tak berani berlama-lama.
seperti keberadaan hujan hari ini, yang mungkin tak mengenal-mu juga aku.
Duka dalam Hujan
seperti keberadaan hujan hari ini, yang mungkin tak mengenal-mu juga aku.
Duka dalam Hujan
Sore gerimis dan aku harus segera pergi, aku berusaha lupa tentang rambutmu yang kututupi dari titik titik hujan, bahkan aku berdiri di sini dan tak ingin kau mengantarku , ini jarum-jarum hujan sayang...,jarum hujan yang mengajarkanmu selangkah demi selangkah tentang beratnya rindu.
Suatu saat nanti, ketika hujan serupa hari ini, isyarat kau tak perlu menjemputku kelak. kita benar-benar mengenal hujan sore itu, penuh tanda sebagai kasih yang purba.
Mata se-indah Bunga
(aku begitu posesif ingin kembali menyalakan puisi -ku dari
tatap-mu yang lama tak kulihat)
Buka matamu sebab dari situ kutemukan isyarat, dari situ pula kumerekam.
Mata se-indah Bunga
(aku begitu posesif ingin kembali menyalakan puisi -ku dari
tatap-mu yang lama tak kulihat)
Buka matamu sebab dari situ kutemukan isyarat, dari situ pula kumerekam.
Bukalah, sesuatu telah tercetak jelas, kemudian tak ada lagi tentang ke-sementaraan.
Buka matamu, sebuah bait-bait puisi harus lahir dan aku akan merubahnya menjadi gemuruh,
Bukalah, atau bunga harus mekar di matamu, dan aku : terbelalak.
Bukalah, atau bunga harus mekar di matamu, dan aku : terbelalak.
Hujan tak sempat Bicara
Hujan sering tak sempat bicara, tiba-tiba saja ia menghambur ke gurun, (kataku ,"singgahlah sejenak meninggalkan kesal, menghibur tangismu yang tertancap dalam luka kemarin, jika kau tetap beranjak cobalah mengeos saja ketempat cintamu dan menumpahkan semua titik rindumunya, tapi, Ia hujan sering tak sempat bicara.
Malam dan jarak kematian
Malam larut dan bulan merumput
Malam larut dan bulan merumput
di setiap gerak irama terasa sembahyang,
seribu rasa menggurat puisi.
tapi, malam sungguh takut kau mendengar jerit hatimu sendiri,
seribu rasa menggurat puisi.
tapi, malam sungguh takut kau mendengar jerit hatimu sendiri,
ketika gelap, dan kau tak temu terang setelahnya
bahkan, tak melihat lagi malam dalam gelapnya.
Angin sore dan kenangan
Gelagat angin mengibas rambutmu, aku ber-ayun, rasanya lebih baik bahkan merasa perjaka dan perawan, angin sesaat itu, melupakan segala sunyi.
Gelagat angin mengibas rambutmu, aku ber-ayun, rasanya lebih baik bahkan merasa perjaka dan perawan, angin sesaat itu, melupakan segala sunyi.
Dalam canda angin aku beringsut temu kamu,
Kala angin sore hembus, segimbal rambutmu dipaksa lunglai,
Kala angin sore hembus, segimbal rambutmu dipaksa lunglai,
itu isyarat yang menjadikan-mu selalu ada,
Angin sore ?, dan baju seragam sekolah selalu lusuh jika usai antar-mu pulang
Angin sore di rambutmu : Mengentalkan kenangan
Rindu di henti Hujan
Hujan mengarung sepi
Musim nan lembab di bulu-bulu mata.
pohon-pohon basah redup di matamu .
"Basah", kebosangan yang purba.
Setiap kenang, tak beda antara hujan dan air mata.
Bila sekali saja henti hujan, isyarat aku memanggilmu pulang.
kematian ? : tak mengapa setelahnya.
Senja terlihat murung
setengah tubuhnya seperti ditelan gelombang, senja yang tak nikmat, kecuali karena kata harus lahir, nge-puisi.
Aku pecinta biasa yang mengantarmu sampai disini, meski tak kupungkiri matamu lebih kilau dari jingga, juga lekuk pelangi indah keningmu saat kau tertidur. Oh perempuan silam....kau sungguh sialan..."ijinkan aku untuk mencintaimu berkali-kali
setengah tubuhnya seperti ditelan gelombang, senja yang tak nikmat, kecuali karena kata harus lahir, nge-puisi.
Aku pecinta biasa yang mengantarmu sampai disini, meski tak kupungkiri matamu lebih kilau dari jingga, juga lekuk pelangi indah keningmu saat kau tertidur. Oh perempuan silam....kau sungguh sialan..."ijinkan aku untuk mencintaimu berkali-kali
Saat Hujan Kita Bergenggaman
Hujan hempas segala-gala di bumi, di embun pula kaca tivi tempat mata memandang, kita tak mengusik hujan, sebab ketika hujan ?
: begitu erat tangan kita bergenggaman.
Gurau Sore pada Hujan
Sore dan hujan yang kita biarkan, maka : Sore yang manis dan begitu saja masuk ketenggorokan juga sore yang mengajakku kekamar mandi, sore yang menyimpan senja di matamu. Sore...yang mengajak bergegas melupakan hujan yang tak reda.
SEBAB Jika terus di sini maka waktu dari tetes kata akan melupakan kita tentang hari-hari, melupakan menyebut apapun, bahkan membiarkan mengalir sebagai pesan yang entah sampai padamu atau tidak, dan ketukan seterusnya adalah warna cuaca gelap seperti biasa, seperti sore itu kau berpayung dan pergi dgn kostum sma-mu kuyup, uh...( kutatap punggungmu terakhir kali yang ditemaramkan kabut, aku tak melupakan itu..., CUKUP....!!!, aku benci sore itu_sore tahun 2000
Sore dan hujan yang kita biarkan, maka : Sore yang manis dan begitu saja masuk ketenggorokan juga sore yang mengajakku kekamar mandi, sore yang menyimpan senja di matamu. Sore...yang mengajak bergegas melupakan hujan yang tak reda.
SEBAB Jika terus di sini maka waktu dari tetes kata akan melupakan kita tentang hari-hari, melupakan menyebut apapun, bahkan membiarkan mengalir sebagai pesan yang entah sampai padamu atau tidak, dan ketukan seterusnya adalah warna cuaca gelap seperti biasa, seperti sore itu kau berpayung dan pergi dgn kostum sma-mu kuyup, uh...( kutatap punggungmu terakhir kali yang ditemaramkan kabut, aku tak melupakan itu..., CUKUP....!!!, aku benci sore itu_sore tahun 2000
Pakar kata SMS berceloteh tentang Rindu hujan
*Hujan hanya peristiwa biasa, menyenyakkan tidurmu atau mengingatkanmu tentang seseorang yang lama kau rindukan, jangan pernah menunggunya...mungkin ia kehujanan mencarimu...
*Dari penjara hujan, kita hanya memecah sunyi dan itu sudah cukup untuk saling memiliki juga menghianati. entahlah.....
*hujan menggenang rindu, adalah kubangan yang memantulkan warna malam, warna kenangan yang paling keras , tak tertakar.
*Dalam celoteh hujan aku ingin menjadi rintik dan mengalir di setipa selangkangmu, Ijinkan aku menjadi hujan . (katamu "teaja..ecece bahaya..!)
*Beringas celoteh hujan-mu, bak aroma tanah yang hambar dan mengabu-kan jejak ziarah kita. Matamu seperti tak mau tahu, kapan hujan harus redah.
*Sungai di sampingku ini mulai jernih tanpa di sentuh hujan selama 2 hari, begitu girang rindu berlayar di atasnya, begitu harap cinta berlabuh pada pantai yang tepat,
*celoteh hujan menjelma sungai menciptakan dermaga, jangan singgah di dermaga manapun, sebab semua dermaga tersenyum padamu_
*Musim meranggas dan seluruh kita adalah hujan,begini keras basah itu sedang kita belum sampai rumah, aku diam dan kau menertawakan sikapku, padahal aku merasa telah memelukmu: kita hujan penuh sesak juga rintih yang tak jelas.
*Malam dan resap hujan di rambutmu adalah gigil yang renyah, seberapa lama..?, aku tak peduli.
*Hari hujan dan angin sebegini beku, kau mulai sedih padahal kelopak bunga jam 9 dihalaman rumah telah mengajarmu tegar, meski jam 10 pagi kemudian iapun tak rela kau menangisi kematiannya. hujan sedih dan bunga itu tetap tersenyum
*sejuk hujan dan aku memeluknya. Maka doa henti hujanmu : kita berkelahi...!
Demikianlah tulis-kata (mirip) puisi tentang :angin, jarak hujan dan pipimu, tulis demi tak tinggal bego, sebab sore, dan hujan tak redah, maaf aku hanya mengantarmu sampai disini.
kata Ustadz di suatu pengajian
"Sebelum kau pejamkan matamu, sebelum kau lelapkan dirimu, sebelum hilang sadarmu, dan sebelum segalanya maka Bukalah matamu dan resapkanlah, bahwa "Katakanlah, Dia-lah Allah Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia" (QS Al Ikhlas 1-4)
____
tapi, ia angin menumpangkan perasaanya pada daun, kalau-kalau titik hujan itu membesar dan kau melintas di bawahnya, ia angin selalu begitu, berulang-ulang melintas di antara daun dan kepalamu, segalanya : demi hujan tak jatuh di pipimu
~~~~~~
Akhir : Puisi: Angin adalah jarak hujan di pipimu
Aku memang beruntung. bertemu isarat di matamu.
Aku memang beruntung. bertemu isarat di matamu.
sebelumnya tak terbayang berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk
merekam setiap detil pengertiaanku sendiri dan kau kupaksa maklum.
merekam setiap detil pengertiaanku sendiri dan kau kupaksa maklum.
liku kisah hidup seperti sebelumnya, selalu kau adalah
bingkisan waktu yang menggeruskan kegembiraan, tapi sebelum ini ?.
sebelum kau buka matamu, teks itu selalu ingkar, selalu tajam dan membelah.
~~~--
Sangbaco.web.id_12|08|12
Puisi: Angin adalah jarak hujan di pipimu
0 comments