Puisi | Kecamuk Pagi

Kamis, Oktober 20, 2011

Puisi kecamuk pagi kata cinta yang meraguka diri sendiri, ulasan panjang dilematis antara lelaki bajingan dan wanita shalihah, dan udara subuh mengantarai perasaan "aku dan setiap udara yang tersentuh adalah dingin, gigil..". Inilah kecamuk itu, jika sesuatu harus dikatakan atau subuh yang tidak menjanjikan apapun, dan resahku pada jejalan pesan bilang "jika pergi jangan lupa bawa bayanganmu". Kelak dengan sepi aku meraba-raba dan kata harus lahir. Dalam kecamuk ini, aku selalu benci jika rindu itu harus bersemayam.

Kecamuk perasaan pagi, 
Seperti sinar matahari pagi ini, aku mengulang waktu di pagi itu
saat kau pergi dan melumat segala kesadaranku bahwa kamu sudah tiada
Aku masih di sini, berpura-pura memulai perjalanan pagi dan melupakan bunga yang kupetik 
lalu selip di rambutmu. Bukankah kamu pagi itu pernah menjadi satu-satunya ombak pantai tempatku mencari keran hingga sore dan  menyematkan senja di wajahmu. 
Pagi siang hingga sore bukanlah waktu bagiku, aku hanya tahu bahwa bersamamu " keindahan itu begitu sederhana begitu dekat. Pagi dan sekelumit pertanyaan " Bila kau pagi ini yang sinarnya menghangatkan ?" : aku benci pagi dalam kesendirian

meraba kata dalam kecamuk pagi














Mengiring sejuk subuh seperjalanan denganmu, adalah memoar  subuh dengan cahaya kilau pagi temaram, kau tampak lebih segar juga dengan setutup mukenah, dan kau tahu bahwa aku sebelumnya hawa  asing yang bertahan dengan rindu  yang coba meraba-raba, sejenak matamu dan aku rinai bayangan yang hendak mengelus lentik bulu matamu", (pulang sholat begini, jangan lagi bertemu aku, sebab tangan imajinasiku sering mengelus tanpa sengaja.

Kecamuk pagi adalah episode lain dari subuh yang berulang, 
seberapa pekan kemudian, sebuah senja mengantarkan pesanmu. 
Setelahnya maka akulah : jalan sepi dengan daundaun gugur memenuh jalan
setapak. Benar bahwa rasa itu adalah sejuta kemungkinan bahkan milyaran.

            : Aku bertemu sunyi dalam barisan pertama dalam sajak, selembaran catatan yang mengarung letak rasa itu antara ada dan tiada, seberapa kecamuk dan catatan tenggelaman di antara tumpukan semak belukar, aku daun kering yang siap sibakar.

Satu-satu kueja peristiwa, dan hanya serangkaian nama-nama dengan semerbak yang dingin…, semerbak yang tenggelam pada bulan sabit yang kehilangan rona shubuh, subuh itu tak pernah kembali dan kehilangan pagi dengan setutup mukenah : uh...jiwaku tergenggam.
____
Sangbaco maros_20|10|11
Puisi | Kecamuk Pagi _

Pembelajaran cerpen  item di setiap paragraf menguatkan penceritaan (baca : dingin , gigil, kecamuk rindu, senja mengantar pesan, rasa, sajak , kehilangan rona subuh, kehilangan pagi dan jiwaku tergenggam). 


Meskipun kamu tak benar-benar di sampingku, kesendirianmu itu sudah cukup untuk melahirkan harap bahwa kita berada di jejalanan yang sama; menujukan muara yang juga sama.

Itu yang selalu kupercaya; menjadikan perasaan serupa karang yang bertahan meski dihantam begitu banyak penyesalan bila membicarakan tentangmu. Hanya ketidakpantasan yang mampu mengikisnyamenafikan keberadaan yang sudah menahun di sana.

“Aku menunggumu,” bisikku di sepertiga malam.

Merawat kenangan dan harapan hingga almanak telah tiga kali berganti. Dari kekasih menjadi sendiri, tetiap perubahan di dalam hidupmu aku mengikuti. Harapan itu tetap ada di sanatersemat di lelangit matamu.

Bila di hari-hari nanti Hujan berkunjung ke rumahmu; itu aku; yang memintanya. Menemanimu yang sesenggukan oleh perpisahan; oleh kehilangan. Hingga kamu bisa kembali tersenyum dan menemukan bahagiamu dengan seseorang lain.

Tenang saja, aku tahu betul seperti apa luka itu. Luka yang (masih) menoreh di dalam dada. Kamu telah menjumput bahagiamu di antara pepasir luas dan menjadikannya satu-satunya untukmu.

Aku bahagia ketika kamu bahagia. Meskipun tangan ini terus menutupi dada agar penyesalan tak deras mengucur keluar.
Tak mengapa, setidaknya, aku bisa melihat senyumanmu untuk terakhir kalinya. Sebelum senyuman itu taklagi diizinkan untuk kuberi pigura dan kusematkan di langit semesta bersama senja.

Mungkin hanya air mata bahagiamu yang jatuh sebagai hujan di hari Sabtukusimpan baik-baik sebagai pertanda bahwa setelah ini, hujan yang kulalui taklagi sama.

Sebagai pertanda, kata “kita” telah tiada.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images