saya adalah tuhan, " ana al haqq"
Kamis, Oktober 06, 2011
Tafsirkan ayat-ayat Quran melalui sudut pandang subyektifnya, "kelewat subyektif malah", pertemuan atau kusebut saja seminar tentang " kupas tuntas Syekh Siti Jenar", ketika itu di IAIN Sultan Alauddin Ujung Pandang (sekarang UIN Makassar), teringat 1 nama pemateri bapak qasim Attar, kesimpulanpun menuai bahwa "yang di bunuh (syekh Siti Jenar) tidak salah dan gurunya yang memotong lehernya juga tidak salah, dan ini terjadi sebab proses sunnatullah". Hanya pernyataan kontroversial tetap menyeruak banyak dari peserta dengan alasan atau sebab sang religi-an kita menganggap dirinya / "saya adalah tuhan, " ana al haqq", sebagai bentuk kesalahan akut dalam penafsiran ayat Quran dan Hadist, Tapi pemotongan lehernya oleh sang guru tanggap peserta seminar berbeda-beda, ya...menarik dan kontrafersial.
Analisis aura keber-agama-an syekh siti Jenar dengan refleksi semisal: ruh sebagai bagian Tuhan yang diberikan pada manusia, sehingga Ia (Tuhan) ada dalam diri manusia; ketika seorang hamba beriman maka baik pendengaran, penglihatan, tangan berikut kakinya merupakan pendengaran, penglihatan, tangan serta kaki-Nya pula . Bisa jadi, ini merupakan ajaran paling terkenal dari Syekh Siti Jenar: manunggaling kawula gusti, ya kawula, ya gusti ‘bersatunya manusia dengan Tuhan, ya manusia, ya Tuhan (manusia adalah Tuhan)’.
Ajaran Syekh Siti Jenar dalam Perspektif dan Analisis Sosiologis
Sebagaimana kita ketahui, terdapat beberapa ajaran dari Syekh Siti Jenar yang tak asing lagi di telinga kita, antara lain: dunia ini sebagai akherat, dan akherat nanti sebagai dunia; ketiadaan hak milik dikarenakan segala sesuatu adalah milik Tuhan; dan terutama, manunggaling kawula gusti (bersatunya manusia dengan Tuhan). Lebih jauh, tulisan singkat ini berupaya menelaah berbagai ajaran Syekh Siti Jenar di atas dalam perspektif dan analisis sosiologis.
“Dunia ini sebagai akherat, dan akherat nanti sebagai dunia”
Ajaran terkait berupaya memberikan pemahaman pada kita bahwa dunia tempat kita hidup, bernafas, makan dan melakukan seabrek aktivitas harian saat ini adalah akherat, sedangkan alam tempat kita hidup setelah meninggal nanti adalah dunia. Secara ringkas, dapat pula dikatakan, “saat ini adalah alam nyata, sedangkan alam nanti adalah alam fana”. Mengapa Jenar dapat berkata demikian? Hal tersebut disebabkan ia telah melihat gambaran surga dan neraka di dunia ini. Dalam keseharian, ia melihat betapa terdapat orang-orang yang hidup dalam kebahagiaan dan kenikmatan, sedang di tempat lain, ia melihat pula betapa orang-orang begitu berat menjalani kehidupan; miskin, sengsara, miris. Berpijak melalui pengamatan tersebut, Jenar menyimpulkan bahwa sesungguhnya alam yang kita hidupi saat ini adalah akherat, sedang alam ketika kita meninggal nanti adalah dunia.
Secara sosiologis, pernyataan Jenar di atas tak pelak melegitimasi status quo dalam masyarakat. Dalam arti, biarlah struktur sosial yang tengah berlangsung saat ini demikian adanya, yang kaya biarlah tetap kaya, begitu pula sebaliknya pada yang miskin: biarlah tetap miskin. Kita tak perlu merubahnya mengingat kesemua itu merupakan sebentuk “ganjaran” sebagaimana cara surga dan neraka bekerja.
“Ketiadaan hak milik dikarenakan segala sesuatu adalah milik Tuhan”
“Segala sesuatu adalah milik-Nya, dan akan kembali jua pada-Nya”, demikian ungkap banyak ustadz atau ustadzah yang kerap kita dengar melalui ceramah-ceramah yang ada. Hal tersebut memang benar kiranya, namun akan menjadi persoalan tersendiri apabila ditafsirkan secara “serampangan”. Sebagaimana terjadi pada Syekh Siti Jenar dan para pengikutnya, ia (Jenar) mengatakan pada mereka bahwa segala sesuatu di dunia adalah milik-Nya, begitu pula dengan beragam barang dagangan di pasar sehingga kita tak perlu membayar atau melakukan jual-beli untuk mendapatkannya. Akibat pernyataan tersebut, para pengikut Jenar pun berbondong-bondong menjarah pasar, mengambil segala sesuatu tanpa membayarnya. Tak pelak, chaos-lah yang terjadi kemudian.
Dua versi kelahiran syekh Siti Jenar .Disadari atau tidak, ajaran Jenar di atas memiliki kemiripan dengan konsepsi “komunisme klasik” berikut gerakan hippies di mana hak milik tidaklah diakui. Sebagaimana diutarakan John Lennon—musisi yang juga salah seorang tokoh hippies—dalam lirik lagu imagine-nya, “Imagine there’s no countries, it isn’t hard to do…” serta, “Imagine no possesion, I wonder if you can…”. Menilik hal tersebut, apakah ketiadaan hak milik merupakan keniscayaan? Apakah konsep sama rasa-sama rata bukanlah perihal yang utopis? Konstelasi masyarakat yang berkeadilan ataukah justru sebaliknya yang terjadi? Tidak patutkah seseorang mendapat ganjaran/upah sebagaimana apa yang telah diupayakannya?. Menimbang rangkaian pernyataan tersebut, kiranya ketidakadilan berikut kekacuan sosial-lah yang justru bakal ditimbulkannya.
_____________
Referensi : dalam dialog saya adalah tuhan, " ana al haqq"
~Film "sunan kalijaga dan Syekh Siti Jenar , tahun 1985
~Wahyu Budi Nugroho,/kolomsosiologi.blogspot.com/2011
~Mulkha Abdul Munir ,2007 "ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar,
~Mulkha Abdul Munir ,2007 "ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar,
~Martin Vincent 2003, filsafpat eksistensialisme Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Pandangan :
1,Soren Kierkegaard : kebenaran nya relevansi dalam fenomenologi cara pandang sebuah metode guna memahami pemikiran maupun perilaku individu melalui sudut pandang subyektifnya—sebagaimana ia memandang dunianya
1 comments
kontol
BalasHapus