Maros Budaya Pappaseng
Sabtu, Juli 09, 2011Beberapa Postingan di Facebook : Maros Budaya Pappaseng· 30 November 2010 (tujuan pelengkap hasil penelitian budaya kab. Maros)
*Kearifan budaya lokal merupakan energi potensial dari sistim pengetahuan kolektif masyarakat demi hidup atas nilai-nilai yang membawa kelangsungan peradaban, sibgah kearifannya terkecup kenang, saat mereka coba melupakan rumah, meninggalkan paseng sebagai jati diri mereka
*Sebab arus zaman, temu suku Bugis Makassar dan ruh masa lampau itu terus keluh mencari-cari penanda cinta dari kristal lampau itu, sejauh batas pengertian titah leluhur adalah angin yang mengantarmu sejuk juga guncang di larung sesumbar mu...., temu yang mengajakmu pulang, pulang ke-, kearifan
*Tradisi adalah rumah kita tempat inspirasi yang lahir dari kristal kearifan, mengajak bahkan menantang kita mengasahnya.
PengantarBerikut adalah Sosialisasi tradisi yang terekam dari masyarakat mengambil bagian dalam mengukuhkan norma – norma dan nilai–nilai budaya juga menunjukkan mentalitas religius – magis, yang diungkapkan secara kolektif melalui upacara – dan mempererat rasa “masseddi siri” (kebersamaan) dan “abbulo sibatang” (persatuan) bagi masyarakat pendukungnya.
*Tradisi adalah rumah kita tempat inspirasi yang lahir dari kristal kearifan, mengajak bahkan menantang kita mengasahnya.
PengantarBerikut adalah Sosialisasi tradisi yang terekam dari masyarakat mengambil bagian dalam mengukuhkan norma – norma dan nilai–nilai budaya juga menunjukkan mentalitas religius – magis, yang diungkapkan secara kolektif melalui upacara – dan mempererat rasa “masseddi siri” (kebersamaan) dan “abbulo sibatang” (persatuan) bagi masyarakat pendukungnya.
Tradisi Perkawinan Maros (Bugis Makassar)
Perkawinan hal penting dalam
kehidupan, dan bagi masyarakat Bugis-Makassar
perkawinan bukan hanya peralihan dalam arti biologis, pun menekankan arti penting aspek sosiologis, yaitu adanya tanggung jawab baru bagi kedua
orang orang yang mengikat tali perkawinan atau hal yang hikmat suci dan sacral (terdapat banyak ritual), beberap pengertian terkait berikut
Bagi
orang Bugis-Makassar, kawin artinya Siala (Sialle = Makassar)
artinya saling mengambil dan menjadi pasangan dan bukan hanya itu sebab
juga melibatkan kerabat kedua belah pihak dengan tujuan memperbahurui dan
memperkuat hubungan keluarga keduanya,
atau menerima seseorang yang sebelumnya bukan kerabat menjadi tiai tau
maraeng (Bukan orang lain)
Rentetan kegiatan kegiatan awal proses pernikahan sebagai
berikut :
Mappucce-puce(Akkusissingdalam bahasa Makassar), ialah
kunjungan dari keluarga si laki-laki kepada keluarga si gadis untuk mengetahui
apakah peminangan dapat dilakukan.
Massuro(Assurodalam bahasa Makassar), yang merupakan kunjungan dari utusan pihak keluarga laki-laki kepada keluarga si gadis untuk pinangannya ditanggapi atau tidak lalu membicarakan waktu pernikahan yang didalamnya termasukSunrengatau mas kawin juga balanjaatau belanja perkawinan.
Prosesi selanjutnya terdapat dua jenis pemberian dari pihak laki-laki ke pihak perempuan yaitu "Sompa" yang secara simbolis berupa sejumlah uang yang dilambangkan dengan rella (real) yang sesuai dengan derajat perempuan, dan dui' menre' (uang naik) atau uang untuk perongkosan pesta perkawinan, yang biasanya diikuti dengan lise' kawing (isi perkawinan), dan mahar biasanya sejumlah uang (kini dilengkapi dengan Mushaf Al-Qur'an dan seperangkat alat Shalat bagi calon mempelai wanita).
Massuro(Assurodalam bahasa Makassar), yang merupakan kunjungan dari utusan pihak keluarga laki-laki kepada keluarga si gadis untuk pinangannya ditanggapi atau tidak lalu membicarakan waktu pernikahan yang didalamnya termasukSunrengatau mas kawin juga balanjaatau belanja perkawinan.
Prosesi selanjutnya terdapat dua jenis pemberian dari pihak laki-laki ke pihak perempuan yaitu "Sompa" yang secara simbolis berupa sejumlah uang yang dilambangkan dengan rella (real) yang sesuai dengan derajat perempuan, dan dui' menre' (uang naik) atau uang untuk perongkosan pesta perkawinan, yang biasanya diikuti dengan lise' kawing (isi perkawinan), dan mahar biasanya sejumlah uang (kini dilengkapi dengan Mushaf Al-Qur'an dan seperangkat alat Shalat bagi calon mempelai wanita).
Mappaenre Balanca
Sebelum
pernikahan maka kegiatan yang mendahuluinya yaitu mappaenre' balanja dalam bahasa Bugis (appanai leko'dalam bahasa Makassar), ialah proses mempelai laki-laki disertai rombongan
dari kaum kerabatnya, mengantar uang lamaran kemudian ditetapkan
hari baik untuk acara pesta perkawinan yang merupakan kesepakatan kedua belah
pihak pria-wanita,
tua-muda, dengan membawa macam-macam makanan, pakaian wanita dan maskawin.
sampai dirumah mempelai wanita maka dilangsungkan upacara pernikahan, yang
dilanjutkan dengan pesta perkawinan atau Aggaukeng (pa'gaukang
dalam Bahasa Makassar). Rombongan tersebut dalam bahasa
Makassar di istilahkan denganErang-erang,
Iring-iringan pengantin dalam baju bodo kuning yang bersiap menuju kediaman
mempelai wanita. Masing-masing membawa hadiah yang akan diberikan sebagai
persembahan atau erang-erang untuk pengantin wanita. Biasanya erang-erang
tersebut berisi seperangkat alat sholat, sepatu, emas, kosmetik dan sebagainya.
Rombongan gadis pembawa erang-erang umumnya terdiri dari 12 orang gadis remaja
dan dikawal oleh keluarga pengantin pria.
Pada pesta itu para tamu yang di luar di undang untuk memberikan kado atau uang sebagai sumbangan (soloreng), pada zaman dahulu soloreng itu berbentuk sawah atau ternak dan asalnya dari pihak paman (keluarga dekat dari kedua mempelai). Apabila dalam upacara adat itu salah seorang paman memberi pengumuman, bahwa untuk kemanakannya yang kawin itu ia memberi sepetak sawah, maka pihak kerabat pengantin laki-laki akan malu kalau tidak ada seorang diantara mereka mengumumkan pemberian kepada kemanakannya yang melebihi solorengdari pihak kaum kerabat pengantin wanita.
Pada pesta itu para tamu yang di luar di undang untuk memberikan kado atau uang sebagai sumbangan (soloreng), pada zaman dahulu soloreng itu berbentuk sawah atau ternak dan asalnya dari pihak paman (keluarga dekat dari kedua mempelai). Apabila dalam upacara adat itu salah seorang paman memberi pengumuman, bahwa untuk kemanakannya yang kawin itu ia memberi sepetak sawah, maka pihak kerabat pengantin laki-laki akan malu kalau tidak ada seorang diantara mereka mengumumkan pemberian kepada kemanakannya yang melebihi solorengdari pihak kaum kerabat pengantin wanita.
Usai
penetapan waktu perkawinan bersanding maka kedua pihak yang terpisah itu
melakukan tradisi Kegiatan dalam tata cara atau prosesi upacara adat ini
terdiri dari: Appassili bunting.
Appassili
bunting (Cemme mappepaccing)Persiapan
sebelum acara ini adalah calon mempelai dibuatkan tempat khusus berupa gubuk
siraman yang telah ditata sedemikian rupa di depan rumah atau pada tempat yang
telah disepakati bersama oleh anggota keluarga.
Prosesi awal tradisi Appassili:
Sebelum dimandikan, calon mempelai terlebih dahulu memohon doa restu kepada kedua orang tua di dalam kamar atau di depan pelaminan. Kemudian calon mempelai akan diantarkan ke tempat siraman di bawah naungan payung berbentuk segi empat (Lellu) yang dipegang oleh 4 (empat) orang gadis bila calon mempelai wanita dan 4 (empat) orang laki-laki jika calon mempelai pria. Setelah tiba di tempat siraman, prosesi dimulai dengan diawali oleh Anrong Bunting, setelah selesai dilanjutkan oleh kedua orang tua serta orang-orang yang dituakan (To’malabbiritta)
Aggorontigi (Mappacci).
Rumah calon mempelai telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengan dekorasi khas daerah Bugis Makassar, yang terdiri dari :a. Pelaminan (Lamming) b. Lila-lila dan c. Meja Oshin lengkap dengan bosara. d. Perlengkapan Korontigi/Mappacci.
Rumah calon mempelai telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengan dekorasi khas daerah Bugis Makassar, yang terdiri dari :a. Pelaminan (Lamming) b. Lila-lila dan c. Meja Oshin lengkap dengan bosara. d. Perlengkapan Korontigi/Mappacci.
Acara
Akkorontigi/Mappacci merupakan suatu rangkaian acara yang sakral yang dihadiri
oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan. Acara Akkorontigi memiliki
hikmah yang mendalam, mempunyai nilai dan arti kesucian dan kebersihan lahir
dan batin, dengan harapan agar calon mempelai senantiasa bersih dan suci dalam
menghadapi hari esok yaitu hari pernikahannya.
tradisi pesan aggorontigi |
Traradisi
aggorong tigi dimana para undangan sanak keluarga atau para undangan yang telah
dimandatkan untuk meletakkan pacci
telah tiba, acara dimulai dengan pembacaan barzanji atau shalawat nabi, setelah
petugas barzanji berdiri, maka prosesi peletakan pacci dimulai oleh Anrong
bunting yang kemudian diikuti oleh sanak keluarga dan para undangan yang telah
diberi tugas untuk meletakkan pacci. Satu persatu para handai taulan dan
undangan hadir dan didampingi oleh gadis-gadis pembawa lilin yang menjemput
mereka dan memandu menuju pelaminan. Acara Akkorontigi/Mappacci ini diakhiri
dengan peletakan pacci oleh kedua orang tua tercinta dan ditutup dengan doa.
Assimorong
atau akad nikah hingga Mapparola
Acara
selanjutnya adalah Assimorong (bahasa Makassar terjemahan akad nikah) dilakukan
di kediaman mempelai wanita. Mempelai lelaki akan datang ke rumah mempelai
wanita bersama rombongan dengan membawa antaran/seserahan, biasanya berupa kue-kue tradisional BugisMakassar, buah-buahan dan sepasang ayam jantan dan betina juga selain
barang-barang keperluan si mempelai wanita yang dihias dengan cantik. Setibanya
di rumah mempelai wanita, pernikahanpun dilangsungkan, mempelai pria
mengucapkan ijab kabul dihadapan penghulu disaksikan oleh keluarga dan kerabat
lainnya. Setelah proses pernikahan selesai, para pengantar dipersilakan
menikmati hidangan yang telah dipersiapkan. Selanjutnya, para pengantar pulang
dan mempelai pria tetap di rumah mempelai wanita untuk menerima tamu-tamu yang
datang untuk mengucapkan selamat dan menyaksikan acara pesta perkawinan. Pada
acara pesta perkawinan biasanya meriah karena diiringan oleh hiburan kesenian daerah. Keesokan harinya, Mapparola Bugis bahasa Makassar terjemahan : sepasang
pengantin diantar ke rumah mempelai pria dengan iring-iringan, yang tak kalah meriahnya dank e rumah mempelai
pria berlangsung acara yang sama.
Tudang Botting
Tudang botting adalah duduk pengantin atau
pelaksanaan resepsi/persandingan, yang di mulai
awal di kediaman pengantin wanita terlebih dahulu. Selepas resepsi mempelai
lelaki tidak boleh menginap dan memakan sajian di rumah pengantin perempuan. Selepas itu majlis resepsi di rumah
penganti lelaki dikenali sebagai Allekka’ bunting ( Marolle ) atau Mundu mantu.
Pengantin wanita juga tidak dibenarkan memakan sajian dari rumah pengantin
lelaki tetapi boleh menginap namun dikawal ketat agar tidak bersatu, belum
boleh di satukan.
Makkaddo’ caddi’ ke Pa’ bajikang
Sehari
selepas resepsi/majlis sanding atau tudang botting dilakukan pula acara makan
nasi pulut/ketan yang di istilahkan denga
Kaddo caddi (bahasa
Makassar semacam melepas kegembiraan dengan acara makan nasi pulut/ketan yang
diolah secara tradisional) Akhir sekali acara Appa’ bajikang bunting (bahasa
Makassar terjemahan menyatukan kedua mempelai).
ilustrasi peristiwa : dimana mempelai pria dan wanita disatukan
dalam satu sarung. prosesi ini diberi nama pabbajikang. Yaitu prosesi yang
mempertemukan kedua mempelai untuk pertama kalinya sebelum bersanding di pelaminan.
Pabbajikang melambangkan status antara mempelai wanita dan pria yang sudah
halal untuk satu sama lain. Biasanya salah satu orang yang dituakan membimbing
kedua mempelai untuk menyentuh bagian tertentu seperti ubun-ubun, pipi dan
bahu. dalam adat bugis, prosesi ini dinamakan Mappasikarawa (bahasa Bugis dengan terjemahan : menyentuhkan ujung jari mempelai pria pada wanita). Dalam ritual ini kedua mempelai akan
disatukan dengan acara suapan.
Beberapa
hari setelah pernikahan, pengantin baru mengunjungi keluarga si suami dan
tinggal beberapa lama di sana. dalam kunjungan itu, si isteri harus membawa
pemberian-pemberian untuk semua anggota keluarga si suami.
kemudian ada kunjungan ke keluarga si isteri juga untuk pemberian-pemberian kepada mereka semua. Pengantin baru juga harus tinggal beberapa lama di rumah keluarga itu. barulah mereka dapat menempati rumah sendiri sebagai nalaoanni alena / kemandirian (naentengammi kalenna dalam Bahasa Makassar). hal ini berarti bahwa mereka sudah membentuk rumah tangga sendiri.
Berselang beberapa hari kemudian masih dilakukan acara kesyukuran dengan memakan Lappa-lappa. Perekam tradisi ini masih merupakan peristiwa yang umum sebagai anutan di Kab, Maros
kemudian ada kunjungan ke keluarga si isteri juga untuk pemberian-pemberian kepada mereka semua. Pengantin baru juga harus tinggal beberapa lama di rumah keluarga itu. barulah mereka dapat menempati rumah sendiri sebagai nalaoanni alena / kemandirian (naentengammi kalenna dalam Bahasa Makassar). hal ini berarti bahwa mereka sudah membentuk rumah tangga sendiri.
Berselang beberapa hari kemudian masih dilakukan acara kesyukuran dengan memakan Lappa-lappa. Perekam tradisi ini masih merupakan peristiwa yang umum sebagai anutan di Kab, Maros
Rujukan Utama : Buku “Kearifan Budaya Lokal “ oleh ketua Tim Penulis : Kaimuddin
Mabbaco, Penerbit PT Pustaka Indonesia Press Jakarta. dan tambahan kelengkapan beberapa sumber lain.
______________________________________________________________
lukisan budaya pappaseng maros |
Budaya Pappaseng/Pappasang Dalamperan Ibu Menidurkan Anak-anak
Matinro ni…matinro tudang ammo, nasala nippimu
Nippi magi mumalewe nrewogo
makkawaru natodongi to peddi
Peddi pegani mutaro, tegai
nupallanrung kumasalle lolang
Lolekko… musalleangi sara’e ri
atimmu naaja mumadoko
madoko-doko laoe, makkale
rojong-rojong
Tuwokona… malampék sungek, wekkek
temmakkasapék Pattola palallo
Matinroni ..tori welainnu denre
mattaro lebba cede pallawa uddani
Muddanikku muterri congako ri
ketenge mu… siduppa mata
Artinya:
tidurlah
…sebelum kau duduk tertidur dan tak menemukan mimpimu
sebagaimana
kau datang padaku yang miskin ini lalu kau tinggalkan pula
dimana
kusimpan sakit ini, dimana kuhempaskan biar lepas dari belenggunya.
pergilah….
biarkan hilang sakit hatimu yang membuatmu kurus, sungguh ia pergi dengan tubuh
yang kurus , tapi ketahuilah bahwa yang ditinggal lebih penuh derita.
hiduplah
nak..penuh semangat, tumbuh sehat dengan bekerja keras
tidurlah…ia
yang meninggalkanmu menitip seserpih rindu, rindu dan bukan tangis, ketika kau melihat bulan, disanalah
..pandangan matamu bertemu.
Dalam
sepi yang ditinggal pergi oleh suami, sang ibu melarutkan perasaannya dengan
penuh cinta, ia mengayun sang buah hatinya dengan dendang syair kerinduan. Di larut malam, syair lagunya sayup-sayup
terdengar , harapannya pada bulan yang bersinar dilangit, menyampaikan
kerinduan anaknya pada ambo/bapak yang
meninggalkannya (lokka massompe/pergi merantau), ia menghibur buah hatinya
tentang keberadaan bulan sebagai tempat pandangan mata sang ayah melihatnya,
dengan impian sang ibu anaknya tumbuh besar, sehat, penuh semangat dan bekerja keras, harapan pertemuan itu terus menuai syair
–syair kerinduan yang dilantunkan, hingga kelak ayahnya bertemu dengan buah
hatinya sekembali dari perantauan.
Teks lagu pengantar tidur anak-anak yang
dilantunkan ibu-ibu Bugis Makassar di Sulawesi Selatan, sangat beragam, adapun
indikator tradisi ini yaitu sang ibu
melaksanakan peran kulturalnya sebagai pendidik, sebagai pembangun benteng awal
dalam penerapan akhlak dan kearifan bagi buah hatinya. Sang ibu meletakkan
dasar peradaban dan pembinaan pada generasi mudanya. Memang, dasar-dasar
benteng pertahanan peradaban masyarakat justru dibangun sejak dini melalui
peran kultural sang ibu.
Ketika
melakonkan peran keibuannya, menggendong, menyusukan, mengayun dan membelai
anaknya, melalui syair-syairnya, sang ibu melantunkan pesan-pesan kultural
masyarakatnya, mengemukakan wujud cita kultural mengenai ‘anak-anak’ generasi
muda yang didambakan.
Seperti dikemukakan sumber Sitti Amarah dg, Cora[1], “temmakke waram parang ri sumange atuoanna ana e’ naia kia‘makkéati macinnong ri lempu lalenna”, Artinya : pada kehidupan anak bukanlah keinginan pada sifat materi tetapi mendekatkan hatinya pada kesejatian, kesucian didalam hidupnya untuk tujuan yang lurus.
Karakter, sifat dan kepribadian generasi kekinian, seperti sinyalemen diatas tersebut justru tidak sepenuhnya mampu ditumbuhkan dunia pendidikan formal, apalagi orientasi pendidikan atau pengajaran terlihat lebih prioritas penguasaan kepandaian ‘otak’ semata. Kepribadian ‘makkéati macinnong’ tumbuh dari pendidikan kultural, pendidikan sejak dini yang diturunkan sang ibu dari lingkungan masyarakat karib (the intimate society).
Dini, ketika awal kau mengenalnya sejak di ayunan dengan lagu "toengi Bambo", tak kau kenali filosofi lagu itu ?. Juga bahwa hati yang jauh sungguh gelisah..., mengantarkanmu asing ketika pengejawantahan sipakatau na sipakalebbi. Budaya paseng indokku melemah di laku tutur sedang bahasa ibu adalah penanda Bugis Makassar kita hari ini, masih serupa coretan tangan yang terpaksa /aku sendiri memaksanya terlihat indah, kita tidak punya pagar betis budaya yang sakral sebagaimana yang dicipta negara Jepang atas kelanggengan budayanya, materre sedding pappasengE .....abiasange -abiasa topa palelei, ke-perubahan ini merupakan lika-liku waktu yang menjelaskan perih juga senyum Bugis-Makassar.
____________________________________
coretan ini kemana saja kau bebas membuangnya tapi… sebelumnya ajarilah anak-anakmu mengenal bahasa Ibunya......., maaf menandaimu selessureng/saudara. Sebuah kecut jika telaah telah selesai dalam penguatan lokal ke-kurikulum lalu pihak-pihak tertentu tidak menghendaki perihal demikian, sebut saja : ketika usung ke-penerbitan buku, "Kurikulum kearifan budaya Lokal" dan program legislatif komisi c di Kabupaten Maros menandai hal ini, patah putus....harus gagal dari tanggapan pemerintah, Oleh: Facebook Maros Budaya Pappaseng_sebuah adagium berlaku bahwa, "priority on building physical...sedang mendera di upaya bangunan kita hari ini".
Di kisahkan di dalam lontara ketika seorang hendak mengembara tuk bersikeras mencari kehidupan di tempat lain (dapat juga bertujuan mengembangkan keturunan) maka terlahirlah amanat atau pappaseng yang disampaikan oleh ambo' ayahanda sang pangeran tersebut, sekaitan dengan kriteria tanah/ tempat yang baik pengembangan keturunan dengan istilah anennungeng risompereng (jiwa pencari atau perantau) sungguh sebuah uraian yang sarat akan makna. Dalam teks matinro ritoppo galung, berkononotasi sebagai tempat yang baik mempunyai pedataran yang luas, dengan tersedianya wanua pulise babuwa, atau terdapatnya tempat yang dapat dijadikan areal persawahan untuk ketersediaan pangan yang dapat di jadikan lumbung padi, keinginan ini erat kaitannya dengan pelaksanaan tradisi maddengka ase lolo atau menumbuk padi sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah swt atas limpahan hasil sawah tsb….dan seterusnya ----posting Ibrahim L dg Tata
"pada dasarnya manusia menghargai hidup dan kehidupan ini ,......tidak lain atas dasar budaya yang mereka junjung sampai detik ini. lihat.... betapa keras mereka memaknai persoalan SIRI na PACCE hingga sebesar apapun rintangan dan tantangan di samudera, mereka tetap mengarunginya dengan semboyan, kucampa'na sombalakku na kugunciri gullikku ku allena tallanga na toalia. @ post.....pucuk semi.
*Pulau itu bernama Balang Caddi_
refresh crew Budaya Pappaseng ke Pulau Balang Caddi "oleh Sang Baco pada 26 November 2010 jam 15:02. ........dunia yang sibuk dengan berbagai hiruk pikuknya, sebuah ruang lengang, yang mengajak kita untuk keluar sejenak dari rutinitas dunia. Tempat ini bernama pulau Balang Caddi, konon penghuni pertama pulau tersebut terkenal sebagai raja1 Balang Caddi yang terkubur di dekat pemakaman raja-raja Tallo (sekarang dapat anda kunjungi)
Penamaan balang caddi sebagai sara' /assennungeng (prasangka baik) bermaksud terhindar dari ke takabur atas sebuah nama, dan anonim ini tersamarkan dari pandangan para bajak laut pawella (perampok), sebab keridhaan Allah atas nama tersebut, kata balang caddi (konotasi>tempat genangan lumpur yg kecil) sebagai ampe2 (harapan) untuk hidup sederhana demi keselamatan dan lindungan......dst_catatan : kumpulan postingan facebook crew Maros budaya Pappaseng
1 comments
Ijin copy daeng untuk makalah kuliah, trima kasih sebelumnya atas informasi yg lumayan lengkap dari tanah buttasalewangang :)
BalasHapus