Cerita Kisah Pesta Sungai | Esai Perlawanan Hedonisme

Selasa, Maret 20, 2012

Kisah pesta sungai adalah wajah kita nan mengerang pada senyum anak-anak itu, dan rindunya ruang lebur tempatmu melupakan egosentris simponi zaman. Anak-anak itu tanpa sendal, tanpa kehidupan formal, coba ceritakan padamu tentang persetubuhan tiram. Maaf, ini bukan tentang kebaikan dan keburukan, tetapi tiram di benaknya, "mengenalkanmu akan goyangan air dan sebutir mutiara sebagai hadiah". Aku rindu keceriaan anak-anak itu, saat sore hari mereka mengantar perjalanan mega-mega sepanjang bantaran sungai, yang pada akhirnya senja adalah petanda waktu istiarah, bukan memulai kegiatan dengan domisili yang memenuhi cafe-cafe. Aku pulang dengan tergesa-gesa, kutemui rinduku tempat menemukan diri sendiri".
















Selasa,jan 17|2012
REMAH DI PINGGIR SUNGAI MAROS : ESAI
(
Episode ketika dusun-dusun masih-
 primitif dan gentar pada alam yang masih agung dan misterius)
 
Sebuah gema dalam pesta semesta dari riang anak-anak sepulang mengaji, dan qur' an di tangannya di kibas-kibas ke awan , upss...jangan manarik perhatian mereka, dipeluknya warna-warni siluet yang tinggal titik-titik itu, aihh….sosok kaki kecil telanjang berlaril-ari di bantaran sungai, segimbal daun mangga dipanjat-nya sambil berayun,  "hiyyauuu....", teriak salah sorang bocah, nampak giginya yang tanggal, memanggil berloncatan pada pohon yang daunya terjulur menyentuh arus air , (penuh senyum kukira anak-anak itu..., mendung sungguh jauh dari wajahnya ), usai sorak sore, hanya pelepah patah dan biji mangga yang berserakan sebagai akhir pesta mereka.

Di bantaran sungai marusu, mengendap pedalaman yang tumbuh sendiri, aroma pesisir, bunyi ayam dan suara anak-anak mengaji di kolom rumah...sore melekat, melenggang jauh ke lubuk riwayat, kepesan attorioloang (leluhur Bugis) "padallisuni' na' nakko mangaribini nrara i' setangnge", (pulanglah nak sebab jika maghrib syetan sedang berkeliaran), ya...keceriaan anak-anak itu ...mengantar perjalanan mega-mega sepanjang bantaran sungai, hingga akhirnya "sore dan senja" adalah peta tempat rindu duduk istiarah dan beristirahat. Di bantaran sungai marusu, mengendap pedalaman yang tumbuh sendiri, aroma pesisir, bunyi ayam dan suara anak-anak mengaji di kolom rumah...sore melekat, melenggang jauh ke lubuk riwayat, sebuah kesan yang masih tersisa dari memorial yang men-abu.
___













KISAH SUNGAI TANPA KOLONIALISME JASA
Sabtu, Juli |23|201 

Di pinggir sungai dengan perasaan yang hanyut kemuara, jika tak di sini maka gejolak hidup amat cerdas menyeretku keruang-ruang; gengsi, hiburan, kendaraan serta hirukpikuk, mungkin juga tentang pakaian necis, wajah fresh, seakan siap korelasi, bahkan siap beri pelayann jasa. Dunia di luar sana sedang merias dunia dengan pengembangan teknologi tanpa perhitungan, dan pikiran dunia sedang diterjemahkan, ya hampir lekat pada dinamika hidup meng-global, kisruh yang membuka rahasia tentang medan pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah, dan manusia di luar batas negaranya penuh haru-biru, tanpa di pinggir sungai maka : di luar sana mengarung sebait era yang terlindas oleh symponi ambisi diri sedang wajah kekasihmu tak tampak jelas seolah meriak muka dalam air kolam.

Tapi dipinggir sungai, masih kusedot kopi hitam dengan harga yang lumayan minim jika di banding ngopi di café, mal, plasa , (segelas 2 rb di banding 7 rb bahkan 70 rb semisal di...blackcanyon ?), masih di pinggir sungai terlupa dari mengikuti issu-issu panas pradaban, juga ….saat sebagian elit Indonesia mengalami disorientasi, tentang lantang mereka pada koar “apa yang terbaik bisa kulakukan untuk negeri ini?”, sementara sebagian lainnya sibuk menjadi drakula ekonomi bangsanya sendiri?.

Demikian halus kukira "era yg melindasku ke symponi ambisi diri ini", atau kutelah terjajah dengan seserpih nikmat mesin gigantik akan perubahan dekade-dekade  ini. hidup serba tak terkira lalu terjelas dengan korban dari sebuah gejala (hipotetis) baru, bernama: kolonialisme jasa. Tak dimanapun karena kota tujuan telah meneggelam dengan bau anyir, kadang menyeruak dari resleting celana, dan rok mini yang tampak kedodoran, sebab di kota ini segalanya menjadi halal”, jika bukan terjajah, mungkin ini magma cinta yg kita telan atau lahar yg kita muntahkan, begitu rekayasa....dan kita mengasihi dengan jalan pura2 seperti ini. "aku menyayangmu..", katanya dengan malumalu.

TUNGGU DULU...detik detik angin hampir kelelahan ketika kau hendak pulang tergesa-gesa, Psikolog Ratnaningsih mengingatkan potensial alami dini ," anak dari kemampuan verbal atau bahasanya bagus, arahkanlah sejak awal. sebab kemampuan serap bahasa, menstimulasi pengembangan dirinya sebagai kecerdasan alami mereka. Sejak dini adalah penyadaran mengenali potensi mereka juga merupakan perLawAnan terhadap hedONisme

kolonialisme jasa dan melupakan arus sungai yang tenang hingga kemuara, kolonialisme jasa dan bau pesing yang memekak, anak2 kita sedang ngompol di celana, < semua orang bisa melihatnya, tapi hanya kita yang merasakan kehangatan sebenarnya ?. Trim s'__kaimuddin mbck "di pinggir sungai saja, ku se-enaknya" tanpa kolonialisme jasa.



PESAN KEARIFAN LOKAL DARI PESTA SUNGAI
Esai Maros 20|03|2012 

Pulang pada  sungai yang telah lama terlupa, sungai tempat Ibu mengekalkan kasih pertama kali juga mengenalkan bahasa dan seabrek pappaseng. Ya kampung halaman itu sebuah negeri yang sedang bertahan atas perlawanan hedonisme,  perlawanan atas sebuah budaya instan juga dengan kekuatan media dan tanpa jerat hukum. Sekian tahun di Jogja ia Muhammad Arfah memekik "rindu kampung halaman".

Namun, kampung tak seperti dulu lagi, seperti  ketika itu "...  anak-anak  masih tak bersendal sedang sepulang ngaji di tangannya tergenggam quran, dan selalu mengatakan "tabe" juga "iye",  dan dengan kesalahan secepatnya ia berucap "maaf" atau "millau dampenga". Kemana anak-anak itu ?, tak terdengar olehmu mereka mappau rikadong/ bercerita  tentang ketabahan Bissudaeng, Pungkalapung, juga si Pue-pue.


Kiprah titik kembang dari pedesaan meskipun mengalami degradasi aktivitas yang dilakukan, tapi titik – titik kecerdasan habitat ini berhubungan langsung dengan sensor motorik, sehingga untuk mengetahui potensi anak kita tidak perlu lagi membedah otaknya, cukup memperhatikan aktivitasnya, demikian di sebuah pedesaan. Kisah ini kami mulai  ke jeda waktu sebelum siluet menepi di bantaran sungai.

Reaktualisasi dari sebuah teks ketika Hitler mengatakan "Tidak akan kubantai habis seluruh yahudi agar di masa yang akan datang kalian mengerti alasan mengapa aku membantai mereka",[Adolf Hitler dalam Bukunya Mein Kampf], SEBELUM-nya bukan anak2 itu yang disisakan oleh hitler, mereka anak-anak itu berada disini dengan benak mengenal goyangan air dan sebutir mutiara,  Anak-anak mengaji itu memilih untuk menempuh cara beradaptasi  dengan sadar maupun tidak, tapi mereka telah menyerahkan diri dan kemandiriannya pada keadaan yang  sesuai dengan keinginan kemanusiaan-nya.

Jika kau disini, di pinggir sungai kau tak mungkin pulang, sebelum mengenal cerita tentang "air" dari seorang ayah pada anaknya, (celoteh berikut - katanya......Ikan kecil itu tinggal di sebuah sungai yang jernih, tetapi dia tidak tahu apa itu air… Pada suatu siang yang cerah, saat hari libur, seorang ayah mengajak anak laki-lakinya untuk duduk di pinggir sungai yang jernih. Sang ayah mengatakan pada anaknya. “Anakku, kita semua harus selalu menjaga kebersihan dan tidak melakukan pemborosan pada air, karena air adalah sumber kehidupan makhluk hidup, kita tidak akan bisa bertahan hidup tanpa air,”. Sang anak mengangguk dan berjanji tidak akan boros menggunakan air. Di dalam sungai, seekor ikan mas kecil mendengarkan percakapan tersebut. Tiba-tiba ia menjadi cemas karena seumur hidupnya, dia tidak tahu apa itu air dan darimana datangnya.

Wajah mengerang pappaseng pada senyum anak-anak itu dan rindunya ruang lebur , tempat menemukan diri sendiri_
Tulis : Kaimuddin Mbck.
______
Sangbaco.web.id
dalam : Cerita Kisah Pesta Sungai | Esai Perlawanan Hedonisme.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images