Bugis Makassar di Mata Dunia

Minggu, Juli 24, 2011

Ulasan ini merupakan rekaman kehidupan masyarakat lampau Bugis Makassar dengan kaitannya dengan bangsa luar yang diungkapkan sejarawan mancanegara, dalam beberapa peristiwa yang terkait erat dengan ideologi, kultur budaya, seni sastra, peperangan, pengembaraan dan seni beladiri. Ulasan ini sebagai sinyalemen perekatan terhadap peristiwa langsung dengan bangsa luar, dengan harapan dapat menjadi tambahan penguatan revitalisasi dari identitas masa lampau itu sendiri. Dan mengambil nilai kearifan dari ekstraksi semangat bahari Bugis Makassar. Akhirnya terimakasih atas kunjungannya di item Pandangan Bugis Makassar di Mata Dunia, semoga memeroleh manfaat, trims pinisi simbol perekatan bugis makassar di mata dunia

Bugis Makassar di Mata Dunia

Mengenai keberadaan prajurit Bugis-Makassar dalam hubungan mereka dengan orang portugis, Referensi Buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 menguraikan sebagai berikut :
“….kedua suku bangsa ini sangat terkenal karena reputasi mereka sebagai prajurit-prajurit yang paling ditakuti di Nusantara. Mereka juga prajurit-prajurit yang paling profesional. Terdapat naskah-naskah lontara Bugis-makassar yang memuat terjemahan karangan-karangan berbahasa Spanyol dan Portugis mengenai pembuatan meriam kedalam bahasa Bugis-Makassar dan tidak ada satupun terjemahan semacam itu dalam bahasa Indonesia lainya…”(M.C.Ricklefs,2001).

Pandangan mereka tentang ideologi dalam peperangan, Van Goens seorang pegawai VOC Belanda, menulis dalam laporannya sekitar tahun 1660-an : “orang Gowa ternyata memerangi kami (Belanda) tidak dengan permusuhan dan kebencian yang dalam, akan tetapi dengan alasan perintah Allah; Tuhan mereka dan demi mempertahankan kelanjutan hidup agamanya (Islam) dan demi melindungi semua orang Islam”. (B.Schrieke).

Cyril Horomnick, sejarawan Amerika yang meneliti sejarah Afrika Selatan dan Madagaskar menyimpulkan bahwa kerajaan tertua Bugis sudah eksis sebelum tahun 805 atau 953 jikalau ditilik dari riset Cyril Horomnick, bahwa abad ke-1 sampai abad ke-10 mengatakan “orang Bugis-Makassar mereka adalah bajak laut, juga pemasok budak utama di persada Nusantara”.

Madagaskar, mereka sudah mengunjungi Madagaskar pada kurun waktu yang disebutkan. Tidak sedikit bangsawan dan tetua Bugis menyimpan kulit paojengki.(adalah buah dari langit Jenis buah ini dibawah kembali oleh orang Sulawesi Selatan yang mendatangi daerah itu baik sebagai pedagang, pelaut, atau pekerja di tambang emas, mungkin juga oleh budak kalau dia berhasil bebas). Dr. Phuwadol Songprasert,sejarawan Universitas Kasetsart, yang juga sekertaris Jendral The Sosial Science Association of Thailand, ”mereka berani dan terampil dalam perkara bertarung, orang Bugis-Makassar yang betubuh kekar terkenal piawai di dalam perang dan ahli navigasi, ia bermukim di Bangkok(Siam) sebagai sewaan untuk mengajari ilmu perang dan teknik berkelahi, ketika itu Siam menghadapi agresi Myanmar (Birma), mereka adalah pelaut tulen”. [2]

Prof.Dr. Mr. J.C.G. Jonker, warga Belanda dalam kurun waktu 1886-1896, mengungkapkan, “mereka telah mempunyai bahan tulisan tangan La Galigo (dirasakan penting karena sastra terpanjang milik bangsa Indonesia makin diminati dan dipelajari dunia internasional seperti tercermin dalam pementasan teater Megapolis dunia yaitu Singapura, London, Roma, Athena New York), yang mula-mula aksara Lontara itu mereka sebut aksara jangang-jangang; dalam bahasa Makassar berarti burung.

Eksodus Suku Bugis-Makassar secara besar-besaran telah terjadi pada abad ke-17, menjadikan laut bebas serta perairan sebagai khasanah medan laga dalam keberlangsungan hidup. Dalam sejarah, para pelaut Sulawesi dengan kapal pinisi-nya tercatat telah mencapai Madagaskar di Afrika. Gelombang pertama terjadi pada abad ke-2 dan 4, gelombang kedua datang pada abad ke-10 dan gelombang terakhir pada abad ke-17 (masa pemerintahan Sriwijaya).

Pendatang dari Indonesia tersebut menetap dan mendirikan sebuah kerajaan bernama Merina. Pada masa sekarang, ekspedisi kapal pinisi yang terkenal adalah Pinisi Nusantara yang berlayar ke Vancouver, Kanada yang memakan waktu 62 hari, pada tahun 1986 yang lalu. Tahun 1987, ada lagi ekspedisi perahu Padewakang, "Hati Marige" ke Darwin, Australia, mengikuti rute klasik. Lalu Ekspedisi Ammana Gappa ke Madagaskar, terakhir pelayaran Pinisi Damar Segara ke Jepang. [3].

Tidak heran bila memunculkan julukan dari berbagai pihak terhadap mereka yang tersirat dalam kata sebagai pelaut, bajak laut, dan raja laut, tiga istilah ini hanya terjadi dan dilakoni oleh orang yang mempunyai jiwa petarung serta darah dan semangat bahari, seorang sarjana Barat (M.C.Ricklefts,2001). Menulis “mereka bagaikan perompak–perompak Viking yang sedang mencari kehormatan, kekayaan dan tempat tinggal baru. Mereka melibatkan diri dalam peristiwa-peristiwa di Lombok, Sumbawa, Kalimantan, Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaysia, bahkan sampai Siam. Sampai abad ke-16, para prajurit ganas ini menjadi momok di nusantara.

Penyebar Agama Islam dari Macassar
Syekh Yusuf, Ulama asal Makassar, Sulsel yang dibuang Belanda akibat menentang penjajahan, kurang lebih 300 tahun yang lalu. Di Macassar, ada sebuah tempat yang dinamakan “The Kramat”. The Holy Resting Place of Sheikh Yusuf Al Makassari, semacam kampung atau perkampungan Makassar (dibaca dalam bahasa Indonesia) di Afrika Selatan. Ia Walau terbuang, beliau malah menyebarkan keindahan Islam di tanah Afrika dengan gigih kepada masyarakat setempat. Ketokohan Syekh Yusuf diakui luas oleh penduduk di Afrika Selatan jauh bahkan melebihi Kaum Boer (keturunan Belanda) yang menetap dan tinggal disana.

Perjalanan dakwah beliau juga sampai ke Aceh dan Gujarat, India. Serta berguru di Yaman, Damaskus, dan Turki. Syekh Yusuf yang didaulat menjadi Mufti Banten, turut berjuang menentang penjajahan Belanda di Pulau Jawa. Dipecah belah oleh Belanda, sehingga Sultan Ageng berperang melawan Putranya sendiri, Sultan Haji, dan kalah pada tahun 1682, Syekh Yusuf dan pengikutnya, tentara-santri berjumlah 5000-an orang asal Bugis, Makassar dan pendekar Banten bergerilya selama dua tahun hingga ditangkap Belanda dan dibuang ke Batavia. 

Karena pengaruhnya yang besar, Syekh Yusuf dibuang lagi ke Sri Lanka (Ceylon). Di Sri Lanka, perjuangan Syekh Yusuf semakin menjadi-jadi. Karena Ceylon merupakan tempat persinggahan jamaah haji, maka Syekh Yusuf masih dapat menjalin komunikasi dengan Nusantara dan para pengikutnya. Para kafilah haji inilah yang membawa karya-karya Syekh Yusuf ke negeri kita.

Referensi
[1]Nasaruddin Koro, “ Ayam Jantan Tanah Daeng”.
adalah aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar. Bentuk aksara lontara menurut budayawan Prof Mattulada (alm) berasal dari "sulapa eppa wala suji". Wala suji berasal dari kata wala yang artinya-
pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. 

Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah. Huruf lontara ini pada umumnya dipakai untuk menulis tata aturan pemerintahan dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada daun lontar menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar (kira-kira sebesar lidi).
[3] www.kastenmarine.com
_______
Sangbaco.web.id
Bugis Makassar di Mata Dunia

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images