Misteri " Hujan Linggis",

Senin, Desember 05, 2011

Sebuah peristiwa luar biasa ditorehkan oleh keadaan mentalitas trauma dalam perjalanan hidup masyarakat kampung (sekali ini saja, insyaAllah...amin), penyebab keadaan yang tak biasa ini mengantarai lahirnya sebuah istilah di kampung Pallantikang Maros, (terdapat juga keadaan serupa di beberapa tempat di kab. Maros), tetapi penulusuran kali ini di sebuah area yang dulunya di jadikan sebagai tempat Pelantikan Raja-Raja Marusu, hingga nama kampung dalam ke-arbitrer-an sejarah yaitu “Pallantikang Butta Towa.


saksi peristiwa berita
Tersebutlah istilah Bugis “bosi pakkali”/hujan linggis atau dengan istilah lain yang serupa keadaannya, 

Dengan nama lain masyarakat kampung mengistilahkannya dengan “jemme’-jemmeng” ( bahasa Bugis.terjkampung terasa lembab.

Untuk peristiwa ini sinyalemen masa lalu itu n menyampaikan suatu yang menerangkan tentang lemahnya fisik masyarakat se-kampung dalam seminggu bahkan sebulan, demikian mewabahnya penyakit hingga  disebut: peddi banua /(Bhs Bugis, terj : sekampung kesakitan.

Perihal awal dari peristiwa ini, oleh seorang sumber bernama Daeng Colleng menceritakan, “iyaro wettue na’, jaman na umpa pak kasim, (Bupati pertama di kab Maros), rimakkitana nyarang pute ri palattae…., “pada compa api rilise matanna”, na riwenninna sadda karemeni bokka asue, ribajannaro… ribajanna makkoro marrupa-rupanni tau malasa, silettureng matu mateni …dst.

terjemahan : zaman itu masih memerintah bapak Kasim sebagai kepala daerah, awal peristiwa yang kemudian menelan korban yang banyak, namun sebelum peristiwa banyaknya korban di dahului, seseorang melihat tanda yang tidak biasa , yaitu sebuah kuda putih (hal yang tidak biasa) yang yang sedang merumput di ladang kami di pinggir sungai Marusu, 

Terhadap orang yang melintas,  mata kuda itu menatap sangat tajam seolah-olah keluar api pada biji mata kuda tersebut, dan di malam harinya penduduk banyak mendengar lolongan anjing yang membuat bulu kuduk berdiri, sebuah isyarat yang sangat jelas akan terjadi sesuatu, pada keesokan harinya, maka mulailah penduduk merasakan kesakitan yang berbagai macam bentuknya mulai dari muntaber, stroke bahkan terdapat penduduk kampung yang tertabrak mobil, bahkan kematian juga terjadi juga dengan sebab yang sederhana, misalnya anak-anak jatuh saat bermain.

Demikian banyak yang meninggal dengan sebab jelas dan tidak jelas sehingga lahirlah istilah bosi pakkali atau hujan linggis, yang dianggap sebagai rapuh dan gampangnya nyawa orang melayang seolah-olah linggis jatuh dari langit selama seminggu, 

Akhirnya kami tetap mencukupkan dua sumber tentang peristiwa ini, selain dekat ke dua tempat bertamu sumber juga suasana sejuk di desa tersebut sebabkan kami bersama crew nyaman meskipun summer time telah tiba.

Sumber seseorang yang rupanya mengalami periode itu, ia segan menceritakan keadaan tersebut pada ke orang lain, karena menurutnya kalau ia ceritakan kembali prasaan trauma itu menghantui ketakutan masyarakat kampung tersebut, Katanya “pada siang hari dengan mengusung banyak mayat kekuburan, dan malam-malamnya diliputi rasa takut termasuk kalau-kalau ada yang sakit perut, atau sakit apa saja…, merehat dan mengurangi perasaan cemas, pada malam harinya masyarakat keluar dari rumah dan menghibur diri dengan berkumpul-kumpul sesama tetangga “massumange..sipakarennu-rennu”, (bersemangat dan saling bergembira) yang diikuti/ diiringi dengan musik gambus, sambil mewanti-wanti juga jika ada teriakan tetangga bahwa “ada yang sakit” kemudian keadaan ini sangat memungkinkan ia kemudian menghembuskan napasnya terakhir kali. 
hujan linggis 1999: nanre sai'

Katanya pula "bahwa dokter pada waktu itu juga kewalahan dengan banyaknya pasien, bahkan dokternyapun trauma dan sampai detik ini masih terkenang."

"belum hilang perasaan trauma tersebut, jika mengingat peristiwa itu sebab keluarga saya waktu itu juga dalam seminggu itu “nanre sai’”/ mengalami giliran mati tiba-tiba  sebab muntah darah". Katanya

Jelang Trauma : Tampak aktifitas pedagang tomat dan sayur sejak sorenya (tak seperti biasa) mulai benahi daganganya untuk besok dan ia lakukan di atas rumah, yang biasanya disimpan saja dibawah kolom rumah panggung. Menjadi kesepakatan tak tertulis akibat trauma kematian yang berlangsung bergilir dan cepat itu, maka masyarakat yang berlokasi di dalam kampung (tempat jemme’-jemmeng tersebut) jika hendak keluar kampung maka ia membuat sebuah jalan baru, sedang masyarakat kampung sebelah yang biasanya melintasi kampung tersebut pun membuat lintasan baru dengan jalur melewati pinggir kampung tempat sarang musibah tersebut dalam upaya tidak terkena atau tercemari musibah kampung tersebut.

Seseorang pernah tak mengindahkan hal tersebut, ia melintasi jalan seperti biasa setiba di rumahnya, sebagian tubuhnya menghitam dan matanya tampak menyusut“ . dalam bahasa Bugis, “malotongngi ale-alena/ seddi ale silettureng makkalisi I matanna”.



Berselang sebulan kemudian setelah peristiwa ini terhenti, keadaan kembali menjadi normal, seorang Galla (tetua kampung), sebutlah nama galla tersebut adalah H. Tunru, meneliti perkembangan keadaan sebelumnya atau adakah sebab-musabab sehingga keadaan ini tidak terjadi lagi kemudian hari?, perhatian dan penerawangan pun tercurahkan (sebab pengetahuan agama : galla tersebut dapat melihat langsung wujud seperti apa kondisi keadaan masyarakat dan adakah kaitan mereka dengan roh-roh halus tersebut, atau dengan hal rasional bahwa apakah keadaan ini sebab kehidupan tidak bersih sehingga rentan kena penyakit ?



Telusur jejak Bosi Pakkali,di Pallantikang Butta Towa, Tetua kampung mengatakan, ini bisa pula terjadi sebab masuknya makhluk jahat lewat perdukunan dan gejala kurang bersih juga sakit merupakan tempat tumbuh subur makhluk halus tersebut.
_____________
SB &PR dalam Telusur Bosi Pakkali"_

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images