Bugis-Makassar : Ideologi | Kultur | Budaya Seni Sastra | Peperangan,

Sabtu, Desember 24, 2011

Catatan sejarah mengulas Bugis-Makassar (1200-1987) dalam ideologi | Kultur | Budaya Seni Sastra dan Peperangan, jelajah rekaman kehidupan masyarakat lampau Bugis-Makassar, atas persentuhannya dengan bangsa luar, diungkapkan sejarawan mancanegara dalam beberapa peristiwa yang terkait erat  dengan  ideologi, kultur budaya, seni sastra, peperangan, pengembaraan dan seni beladiri. Ulasan ini sebagai sinyalemen perekatan terhadap peristiwa langsung dengan bangsa  luar,  dengan harapan dapat menjadi tambahan metafora revitalisasi dari identitas masa lampau itu sendiri. 

Mengenai keberadaan prajurit Bugis-Makassar dengan atraksi pengembaraan lautan atau istilah  passompe (dalam istilah tersendiri yang banyak di bahas dalam buku lain) semisal dalam hubungan mereka dengan orang portugis, Buku Sejarah Indonesia Modern 1200-1987 menguraikan sebagai berikut :

      
“….kedua suku bangsa ini sangat terkenal karena reputasi mereka sebagai prajurit-prajurit yang paling ditakuti di Nusantara. Mereka juga prajurit-prajurit yang paling profesional.       Terdapat naskah-naskah yang memuat terjemahan karangan-karangan berbahasa Spanyol dan Portugis mengenai pembuatan meriam kedalam bahasa Bugis-Makassar dan tidak ada satupun terjemahan semacam itu dalam bahasa Indonesia lainya…”(M.C.Ricklefs,2001).
ideologi,peperangan,pengembaraan dan seni beladiri Bugis-Makassar (1200-1987)
 Pandangan mereka tentang ideologi dalam peperangan, Van Goens seorang pegawai VOC Belanda, menulis dalam laporannya sekitar tahun 1660-an : “orang Gowa ternyata memerangi kami (Belanda) tidak dengan permusuhan dan kebencian yang dalam, akan tetapi dengan alasan perintah Allah; Tuhan mereka dan demi mempertahankan kelanjutan hidup agamanya (Islam) dan demi melindungi semua orang Islam”. (B.Schrieke).
        
Cyril Horomnick, sejarawan Amerika yang meneliti sejarah Afrika Selatan dan Madagaskar menyimpulkan bahwa kerajaan tertua Bugis sudah eksis sebelum tahun 805 atau 953 jikalau ditilik dari riset Cyril Horomnick, bahwa abad ke-1 sampai abad ke-10 mengatakan “orang Bugis-Makassar mereka adalah bajak laut, juga pemasok budak utama di persada Nusantara”.dalam catatn lain tentang pengembaraan dan seni beladiri (S2).

Bugis-Makassar pedagang, pelaut dan ahli navigasi
Mereka sudah mengunjungi  Madagaskar pada kurun waktu yang disebutkan. Tidak sedikit bangsawan dan tetua Bugis menyimpan kulit paojengki.(adalah buah dari langit Jenis buah ini dibawah kembali oleh orang Sulawesi Selatan yang mendatangi daerah itu baik sebagai pedagang, pelaut, atau pekerja di tambang emas, mungkin juga oleh budak kalau dia berhasil bebas).[1].
        
Dr. Phuwadol Songprasert,sejarawan Universitas Kasetsart, yang juga sekertaris Jendral The Sosial Science Association  of Thailand, ”mereka berani dan terampil dalam perkara bertarung, orang Bugis-Makassar yang betubuh kekar terkenal piawai di dalam perang dan ahli navigasi, ia bermukim di Bangkok(Siam) sebagai sewaan untuk mengajari  ilmu perang dan teknik berkelahi, ketika itu Siam menghadapi agresi Myanmar (Birma), mereka adalah pelaut tulen”.
    
 Bugis-Makassar (1200-1987)  kultur budaya, seni sastra
Tentang aksara lontara, [2]Prof.Dr. Mr. J.C.G. Jonker, warga Belanda dalam kurun waktu 1886-1896, mengungkapkan, “mereka telah mempunyai bahan tulisan tangan La Galigo (dirasakan penting karena seni sastra terpanjang milik bangsa Indonesia makin diminati dan dipelajari dunia internasional seperti tercermin dalam pementasan teater Megapolis dunia yaitu Singapura, London, Roma, Athena &New York), yang mula-mula aksara Lontara itu mereka sebut  aksara jangang-jangang;  dalam bahasa Makassar berarti burung .

Eksodus suku Bugis-Makassar  dalam memorial kultur budaya secara besar-besaran telah terjadi pada abad ke-17, menjadikan laut bebas serta perairan sebagai khasanah medan laga dalam keberlangsungan hidup. Dalam sejarah, para pelaut Sulawesi dengan kapal pinisi-nya tercatat telah mencapai Madagaskar di Afrika. Gelombang pertama terjadi pada abad ke-2 dan 4, gelombang kedua datang pada abad ke-10 dan gelombang terakhir pada abad ke-17 (masa pemerintahan Sriwijaya). Pendatang dari Indonesia tersebut menetap dan mendirikan sebuah kerajaan bernama Merina.
  
Bugis Makassar dengan pinisi dan jiwa petarung
Pada masa sekarang, ekspedisi kapal pinisi yang terkenal adalah Pinisi Nusantara yang berlayar ke Vancouver, Kanada yang memakan waktu 62 hari, pada tahun 1986 yang lalu. Tahun 1987, ada lagi ekspedisi perahu Padewakang, "Hati Marige" ke Darwin, Australia, mengikuti rute klasik. Lalu Ekspedisi Ammana Gappa ke Madagaskar, terakhir pelayaran Pinisi Damar Segara ke Jepang. [3].

Tidak heran bila memunculkan julukan dari berbagai pihak terhadap mereka  yang tersirat dalam kata sebagai pelaut, bajak laut, dan raja laut, tiga istilah ini hanya terjadi dan dilakoni oleh orang yang mempunyai jiwa petarung serta darah dan semangat bahari, seorang sarjana Barat (M.C.Ricklefts,2001). Menulis “mereka bagaikan perompak–perompak Viking yang sedang mencari kehormatan, kekayaan dan tempat tinggal baru. Mereka melibatkan diri dalam peristiwa-peristiwa di Lombok, Sumbawa, Kalimantan, Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaysia, bahkan sampai Siam. Sampai abad ke-16, para prajurit ganas ini menjadi momok di nusantara


[1]Nasaruddin Koro, “ Ayam Jantan Tanah Daeng”.dalam ( :ideologi, kultur budaya, seni sastra, peperangan, pengembaraan dan seni beladiri
[2] Lontara adalah aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar. Bentuk aksara lontara menurut budayawan,  Prof Mattulada (alm) berasal dari "sulapa eppa wala suji". Wala suji berasal dari kata wala yang artinya- -----pemisah/pagar/penjaga dan suji yang berarti putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah. Huruf lontara ini pada umumnya dipakai untuk menulis tata aturan pemerintahan dan kemasyarakatan. Naskah ditulis pada daun lontar menggunakan lidi atau kalam yang terbuat dari ijuk kasar (kira-kira sebesar lidi).
[3] www.kastenmarine.com

Bugis-Makassar (1200-1987) dalam :ideologi, kultur budaya, seni sastra, peperangan, pengembaraan dan seni beladiri

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images