2 CERPEN | Mestikah Kuiris Telingaku Seperti Van Gogh?
Senin, Januari 16, 2012
jejak cepat cerpen 1
Jejak Terakhir 5 pendaki
Mestikah Kuiris Telingaku Seperti Van Gogh?“
Lihatlah bagaimana aku mencintaimu kekasihku. sudah begitu lama kita berpisah, tapi aku ingin mengawinimu. Telah kuraih gelar MBA dari harvard. Telah kududuki jabatan manajer perusahaan multinasional. Telah kukumpulkan harta benda berlimpah-limpah. Kawinlah denganku. Kuangkat kamu dari lembah hitam. Marilah jadi istriku. Jadi orang baik-baik, terhormat dan kaya. Ayo pergi dari sini, kita kawin sekarang juga.”
Ia tersenyum, masih seperti dulu. Ada kerutan di ujung matanya, tapi masih menatap dengan jalang. Dan setiap kali aku menatap mata itu, dadaku rasanya bagai tersirap.
”Ayolah kekasihku, cepat, kita pergi dari sini. Lihatlah Baby Benz yang menunggumu. Akan kumanjakan kamu seperti ratu. Pergilah dari tempat busuk ini. Jauhilah lagu dangdut. Jauhilah bir hitam, marilah memasuki dunia yang elit dan canggih. Kuperkenalkan kamu nanti dengan dunia Mercantile Club, dunia para pedagang dan para manajer internasional. Kuajari kamu main polo, kuajari kamu naik kuda, kuajari kamu bicara Prancis, sambil sedikit-sedikit mengutip Simone De Beauvoir. kujadikan kamu seorang wanita diantara wanita. Berparfum Poison keluaran Christian Dior, berbaju rancangan Lacroix, bercelana dalam Wacoal. Cepat kekasihku, pergi bersama aku. Waktu melesat seperti anak panah. Jangan sampai kamu jadi tua disini. Menjadi kecoa yang tidak berguna.”
Ia tersenyum lagi. Matanya jalang sekali. Rambutnya keriting dan panjang.
”Ayo cepat kekasihku. Cepat. Jangan sampai dunia berubah. Tak ada yang kekal didunia ini. Tak ada yang setia. Ayo cepat. Tunggu apa lagi?”
Wanita itu merebahkan tubuhnya. Bau wangi yang kampungan meruap dalam kamar yang lembab. Alangkah lembabnya. Alangkah kumuhnya. Di ranjang itu juga dulu, ia memitingku sehari semalam. Seprti baru kemarin rasanya. Dua belas tahun yang lalu.
Di luar terdengar dangdut saling menghentak dari setiap rumah. Pada sebuah tembok tertulis dengan huruf merah: Termiskin di Dunia. Entah apa maksudnya.
”Apa lagi yang kamu tunggu kekasihku? Inilah kesempatan emas bagimu. Cepat kemasi barang-barangmu. Aman kopormu? Biar aku bantu. Tinggalkanlah rawa-rawa sipilis ini, pindah ke pondok indah. Ayo cepat. Besok pagi kamu sudah bisa terjun kekolam renang, beitu mentas langsung membaca International Herald Tribune, sambil menelpon teman-teman di Beverly Hills. Ayolah cepat kekasihku. Jangan sampai ketinggalan kereta. Kesempatan tidak datang dua kali. Tinggalkan saja barang-barangmu disini. Kita akan segera memborong gantinya di Shinjuku.”
Mestikah Kuiris Telingaku Seperti Van Gogh? |
”Siapakah kamu anak muda yang menggebu-gebu? Aku tidak kenal kamu. Dua belas tahun lalu ? aku sudah lupa. Terlalu banyak yang sudah tidur denganku. Aku tidak mengerti. Bagaimana kamu bisa mencintaiku?”
”Janganlah bertanya-tanya. Ikutlah aku sekarang. Penjelasannya nanti saja belakangan.”
”Jelaskan padaku anak muda, jelaskan. Jangan sampai aku berbicara dengan orang yang tak bernama. Apalagi kamu bicara tenang perkawinan.”
”Untuk apa? Bukankah kamu tidak perlu nama-nama? Toh kamu akirnya selalu lupa. Ikutlah saja denganku. Bersenang-senang. Bermewah-mewah. Akan ku bawa kamu ke dunia yang ada dalam iklan-iklan.”
Ia tertawa lepas, seperti mengejekku. Matanya menerawang ke luar jendela, kelangit, ke bintang-bintang. Masih terdengar orang-orang mendendangkan Gubuk Derita. Para pelacur berjajar-jajar duduk di luar sambil menaikkan kaki. Leher mereka penuh cupang yang mengerikan.
Seseorang nampaknya baru dihajar, lewat sambil menangis meraung-raung. Bau minuman keras murahan menyesakkan udara bercampur bau keringat para pelacur yang ajojing habis-habisan sampai teler, mencoba melupakan nasib yang entah kenapa bisa begitu buruk dan begitu nestapa. Aku merasa gerah. Aku sudah terbiasa hidup dalam ruangan AC. Jakarta terlalu panas dan menyesakkan. Terlalu banak orang-orang yang bernasib malang. Ia masih tertawa.
”kenapa kamu tertawa?”
”Aku tidak bisa ikut kamu anak muda. Maafkanlah aku.”
Hatiku rontok. Mulutku kering. Keseimbanganku goyah.
”Kenapa? Apa yang kurang dariku, aku lulusan Harvard dan aku …”
”Aku sudah punya pacar.”
”Siapa? Apanya yang lebih hebat dari aku?”
”Dia Cuma tukang jual obat di pojok jalan. Tapi aku bangga sama dia.”
”Hahaha! Tukang obat? Apanya yang bisa dibanggakan?”
”O, aku sangat bangga padanya. Setidaknya dia tidak sombong seperti kamu. Dia bisa bicara tentang segala macam hal, dan dia bisa bicara tentang semua itu dengan meyakinkan. Kamu, meskipun sudah sekolah di Harvard, tdak akan pernah mengalahkan Sukab. Dia adalah segala-galanya bagiku.”
”Hahaha! Sukab seorang tukang jual obat!obat apa? Paling-paling obat kumis! Obat kuat! Seorang penjual omong kosong! Aku tahu orang-orang semacam itu Pembual! Kamu pasti sudah dibohonginya. Kamu sudah di rayu dengan segenap kegombalannya. Mungkin juga kamu sudah dipeletnya, dngan ilmu semar mesem! Atau dia punya batu akik kecubung pengasihan! Jangan mau ditipu. Coba, siapa yang bukan penipu di Jakarta ini? Jangan mau jadi korba!”
”Aku bukan korban. Aku cinta padanya. Dia membuatku bahagia. Dialah satu-satunya alasanku untuk tetap bertahan hidup. Dia sangat pintar. Sama pintar dengan menteri. Dia sangat lucu. Sama lucunya dengan asmuni.”
”Hebat. Hebat. Seperti roman picisan. Kamu mau kawin sama dia?”
Ia menggeleng. Wajahnya jadi muram. Membanting puntung rokok kedalam kloset. Sejumlah kecoa berterbangan.
”Kenapa?”
Ditenggaknya segelas bir sebelum menjawab, nyaris tanpa suara.
”Dia sudah kawin.”
Hatiku yang tadi sudah jatuh berkeping-keping bagaikan melayang saling melekat kembali.
”Kalau begitu, Ayo! Cepat! Kita pergi dari sini! Aku sudah tidak tahan bau apek di kamr ini!”
Ia diam saja. Membuka bajunya. Lantas terkapar. Kulihat tato kupu-kupu itu. rasanya makin aneh dan makin mendebarkan.
”Aku akan tetap disini. Menanti setiap orang yang datang dan pergi. Aku akan tetap setia padanya, meskipun ia tak akan pernah mengawiniku.”
Goblok! Goblok! Ia seorang wanita yang bodoh atau mulia?
”Baiklah. Kalau begitu, sebagai pelacur kebeli dirimu. Kukawini kamu. Kubayar kamu seharga 500.000 dollar Amerika ”
”No,” jawabnya tanpa menatapku, namun nadanya menegaskan ia memang sunguh-sungguh.
”Kamu memang bodoh sekali kekasihku, alagkah bodohnya kamu. Dari dolly samapi St Paulli belum pernah kutemui pelacur seperti kamu. Apakah kamu memang seorang pelacur kekasihku?”
Seekor kecoa terbang, dari atas lemari ke kutang, yang trgantung di jemuran.
”Mungkin aku bodoh. Tapi aku punya cinta. Pelacur profesiku. Cuma lima ribu tarifku. Tapi tak kujual diriku. Nyahlah engkau anak muda. Kembalilah ke Harvard.”
Akhirnya kuambil juga botol bir itu. Kutenggak sampai tandas. Aku ngeloyor pergi. Kutengok kebelakang sekali lagi. Ia masih di jendela itu. Melambaikan tangan seperti dua belas tahun yang lalu. Astaga. Bahkan pelacur pun menolak cintaku. Apakah aku mesti mengiris telingaku seperti Van Gogh? Sistem nilaiku guncang. Ternyata masih ada orang punya cinta. Ternyata masih ada orang bodoh. Terlalu!
__________________
cerpen karya Seno Gumira Ajidarma, Jakarta 1989. dalam Mestikah Kuiris Telingaku Seperti Van Gogh?
berikut cerpen 2
Jejak Terakhir 5 pendaki
Awan hitam berlayar rendah di langit. Mengerikan. Mengerikan lantaran jenis awan itu adalah awan comulunimbus –awan hitam pekat yang berbentuk cendawan raksasa. Awan comulunimbus adalah pemantik badai, dan badai di atas gunung bisa diartikan ancaman kematian bagi pendaki gunung. Tak nampak intipan mentari. Belantara rimba terselip di kepekatan.
Aku teramat khawatir. Pikiranku tak fokus. Setelah tadi malam terpapar dingin dan angin kencang, satu-persatu fisik kami bertumbangan. Semua peralatan pendakian yang kami bawa tak banyak membantu. Suhu minus 7 derajat menyiksa pelan-pelan. Angin di luar tenda terasa menampar-nampar permukaan tenda. Berisik. Sangat-sangat berisik.
Amara tergeletak tak berdaya. Kesadarannya tinggal sisa-sisa. Wajahnya pucat. Bibirnya membiru. Matanya rapat terpejam. Ingin rasanya aku berbuat sesuatu, tetapi, apalah daya, aku tak mampu menolongnya. Jalan pulang yang seharusnya nampak, lenyap tak berbekas. Kami berlima terkucil di tengah rimba, terselip di antara julangan pepohonan berusia ratusan tahun. Tak terdengar secericit pun suara burung. Aneh. Sangat-sangat aneh.
“Kris, bagaimana dengan Amara ?” tanyaku sembari memandang Krisna, pacar Amara. Namun Krisna membisu. Tatap matanya menerawang. Benny yang berada di samping Krisna memandangku.
“Begini, Ryan. Kita mengalami situasi yang pelik. Makanan menipis, kita tak pernah tahu kapan awan sialan ini menyingkir dari langit,” Benny menerocos. Sekilas terbaca kilat matanya yang licik.
“apa maksud kata-katamu, Ben ?” tanyaku cepat. Di hatiku terpantik curiga. Semoga tak ada niatan baginya meninggalkan Amara.
“kita berempat harus secepatnya mencari jalan keluar. Usulku, kita bagi menjadi dua tim. Aku dan Krisna, sementara kau dan Soni,” jawabnya enteng.
“kuharap niatanmu bukan berarti meninggalkan Amara,” rupanya Soni sependapat denganku. Dia melirikku seraya minta dukungan.
Soni kemudian memandang Krisna dengan tatapan tak mengerti. Krisna mematung. Raut wajah Soni berubah jengkel.
“ayolah, Kris. Jangan diam saja ! kau yang paling mengerti kondisi alam di antara kita ! kami butuh pendapatmu !!” suara Soni membentak. Tapi Krisna tak bereaksi.
“kalau pendapatku masih tetap sama, Son. Kita harus secepatnya mencari jalan keluar. Kalau perlu meninggalkan Amara. Kukira Krisna sependapat denganku. Iya kan, Kris ?”
“kau sudah sinting, Ben !!” teriakku
“mending berkorban seorang daripada semua terkena imbas. Kita harus secepatnya mengambil keputusan. Mending mengambil keputusan salah daripada tidak sama sekali. Bertahan di tempat ini sama artinya menanti mati !”
Bantahan Benny terdengar memuakkan di telingaku. Ingin kuhajar mulutnya agar tak nyinyir semacam itu. Soni tak mampu berbuat banyak. Meski tak menerima kata-kata Benny, Soni tak memiliki solusi yang lebih baik. Kurasa dia menumpukan harapan kepada Krisna –pemimpin rombongan kami yang kini bersikap tolol.
Tidak seperti yang kubuktikan, konon Krisna memiliki segudang pengalaman bertahan hidup di alam bebas. Puluhan gunung didakinya. Repetisi pendakiannya setidaknya ratusan kali. Konon lagi menurut cerita yang membuatku kagum, Krisna sempat dinyatakan hilang selama beberapa hari ketika mendaki pegunungan Argopuro yang merupakan jalur pendakian terpanjang di pulau Jawa. Setelah upaya pencarian tim SAR dilakukan, Krisna ditemukan dalam keadaan tak kurang suatu apapun. Menurut cerita yang kudengar, Krisna menggunakan kemampuan survivalnya dengan baik. Dia berhasil belakukan orientasi medan dan mencari jalan pulang –meski harus menerobos hutan perawan sembari bertahan hidup dari dedaunan dan buah-buahan hutan. Tetapi –
Krisna yang kusaksikan kali ini amatlah jauh dari kisah heroik. Krisna yang kubuktikan lebih mirip lelaki tolol. Lelaki sinting yang hanya bisa menerawang saat Benny mengusulkannya meninggalkan Amara.
Andai aku yang di posisi Krisna, aku akan tetap menungguinya meski badai terburuk menerpaku. Amara memang manis, gadis periang yang mencuri hati banyak lelaki termasuk diriku. Cantik. Ibarat bunga, Amara berasal dari jenis yang terliar. Jenis yang selama ini tersembunyi di tempat-tempat tertinggi. Amara sangat pas jika kumetaforakan secantik edelweiss. Liar. Eksotik. Mekar di tempat bunga lain tak mungkin tumbuh. Amara adalah segelintir pendaki perempuan yang gemar naik-turun memanjati titik-titik tertinggi di muka bumi. Saat pertama kali melihatnya di Alun-alun Suryakencana, aku langsung jatuh hati. Namun tidak seperti Krisna, aku tak memiliki keberanian mengungkapkan perasaanku. Amara akhirnya dipacari Krisna. Aku tinggal mengagumi dari jauh. Kurasa salah satu alasan Amara menerima Krisna lantaran mengagumi cerita-cerita hiperbolis tentang kehebatan lelaki tolol itu.
“ambil kompas kalian,” tiba-tiba suara serak Krisna menyentuh kesadaranku. Aku dan Soni berpandangan. Kami lantas meraih kompas masing-masing.
“bidikkan ke pohon pinus itu, pohon yang tertinggi,” suara Krisna terdengar gentar saat mengucap. Lagi-lagi aku dan Soni berpandangan tak mengerti.
“bidik saja, Son. Dan baca hasilnya. Kau juga, Ryan.” Krisna menelan ludah. Bola matanya terlihat pasrah.
Aku dan Soni bersegera membidikkan kompasku ke pohon pinus yang dimaksud.
“arah barat, angle 271,” ucapku sambil menilik jarum kompas.
“arah timur, angle 91”, Soni terbelalak menyaksikan jarum kompasnya. Kedua alisnya tertaut.
“salah satu dari kompas ini pasti ada yang rusak. Tak mungkin seperti ini,” Soni menggoyang kompasnya kiri kanan. Ia kebingungan.
“kompasmu baik-baik saja, Son. Kompas kita tak ada masalah,” suara Krisna yang bergetar memantik kekhawatiranku.
“jarum kompasku persis ke arah utara. Angle 0 derajat. Kupinjam kompas Benny, jarumnya menunjuk bearing angle 181 derajat. Semua kompas yang kita miliki menunjuk arah yang berbeda,”
“bagaimana dengan GPS-mu?” sela Soni khawatir
“GPS-ku habis batere, termasuk cadangannya. Kurasa terserang dingin,” Krisna bergantian memandangi kami.
“kalau boleh kukatakan, kita terperangkap di tempat ini. Mata kita buta, telinga kita tuli. Yang bisa kita lakukan hanya berharap keajaiban,”
“anjing ! “ umpat Benny. “tak seharusnya kau bercakap seperti itu, Kris. Kukira kau pernah mengalami kejadian yang lebih berat. Kau pernah tersesat berhari-hari di belantara !” paras Benny terlihat murka.
“iya. Tapi .. tapi .. tapi kondisinya tidak seperti sekarang, Ben. Waktu itu tak ada badai. Langit cerah sehingga aku bisa mengetahui posisiku di peta. Tapi lihatlah sekarang. Badai masih mengamuk. Jarak pandang tak lebih dari 20 meter. Kalau kau memaksa, mayatmu pasti teronggok di dasar jurang,”
Suasana tiba-tiba hening mendengar kalimat Krisna. Aku ngeri membayangkannya.
“apa kau punya solusi, Kris ?” tanyaku yang terpantik gentar. Krisna memandangku.
“begini, Ryan. Ada sesuatu yang tak kumengerti dengan tempat ini. Kompas kita tak berfungsi, medan magnet tak mengikuti pola yang seharusnya, sepertinya-”
“Aaahhh !! aku tahu kalau itu,” Soni memotong. “tapi kau punya solusi atau tidak, itu yang lebih penting !! kita tak boleh menyerah ! pacarmu dalam kondisi kritis !” Soni meradang mendengar jawaban Krisna yang bertele-tele.
Krisna seketika terdiam. Lelaki tolol itu memandangi kami satu persatu seraya tatapannya meminta maaf. Sedangkan Benny, keparat oportunis itu nampak kesal dengan sikap Krisna.
“yang bisa kita lakukan hanya menunggu badai ini reda. Seandainya nanti malam langit cerah, kita lakukan orientasi medan menggunakan tanda-tanda astronomi,”
“tanda-tanda astronomi ?! kau yakin dengan omonganmu, Kris ?” sahut Benny sembari menatap Krisna tak percaya. Emosinya mulai labil.
“kalau memang nanti malam langit mendung, tak ada pilihan lain, kita harus menunggu,”
“apa ?!! menunggu ??!! tidak ! aku tak mau menunggu cuaca sial ini reda ! kau pikir cadangan makanan cukup ?!!” Benny mulai kalap.
“ya,cadangan makanan memang tak cukup, Kris” imbuh Soni sambil mengusap wajah.
“aku tahu, Kawan. Maafkan aku. Tapi setidaknya berharaplah keajaiban, itu saja.”
“bangsat !!!” Benny membanting keras kompasnya. Dia memaki murka. Kurasa Benny tak siap dengan kondisi seperti sekarang. Kondisi kritis, kondisi yang memaksa kami berjuang merangkak dari lubang kematian.
Di langit, awan hitam mendadak menumpahkan deraian hujan. Kami berempat seketika beringsut memasuki tenda yang telah porak-poranda lantaran dihajar badai sejak semalam. Dari dalam tenda hempasan angin terasa kuat. Bunyi tamparan angin terdengar begitu kencang. Blak-blak-blak ! menampar-nampar tanpa ampun.
Secara tak sadar aku menangis. Aku takut. Aku bertingkah seperti pengecut. Terlebih itu aku tak mampu berbuat banyak untuk Amara yang sedang berjuang melawan hypothermia. Badai terkutuk ! badai bangsat ! bunuhlah aku jika kau mampu !
Aah, pikiranku mulai kacau. Pikiranku terserak-serak berantakan seperti sampah.
Aku duduk mendekap kaki. Dingin udara menusuk-nusuk sendi, nyeri bukan main. Meski pakaian yang kukenakan terrangkapi tiga lapis, tubuhku masih enggan berhenti menggigil.
Soni tertunduk memejam mata. Bibirnya pucatnya bergerak-gerak melafal sesuatu. Entah doa, atau umpatan. Kurasa fisiknya cukup lumayan untuk bertahan hari ini, sama seperti fisikku. Tapi jika cuaca tak membaik, mungkin nasibku dan nasib Soni akan serupa nasib Amara.
Di pojok dalam tenda, Benny, lelaki sialan itu tak henti-hentinya mengumpat. Meski kata-katanya terkaburkan deru badai, aku bisa menangkap jelas umpatannya. Ya. Ia menyalahkan masing-masing kami, satu persatu, yang menurutnya turut andil menciptakan masalah.
“sudah kuduga jalan kita seharusnya ke kiri. Tapi kau, Kris. Kau memilih ke kanan !” cerocosnya.
“aku yakin belokan yang kita ambil sudah benar,” Krisna membela diri.
“hah ?!! sudah benar katamu ?!! coba buktikan isi mulutmu! kita sekarat disini gara-gara kau !”
“sudahlah, Ben. Apa kau tak bisa diam ?” Soni menengahi.
“kasihan Amara, Ben. Dia butuh ketenangan,” sambungku kesal
“Amara sudah habis ! kita pasti habis ! mati sengsara di tengah hutan !!”
“keparaat !! kalau kau tak bisa diam, biar kurobek mulutmu !!” Soni mendadak nyalang. Tangannya meraba gagang belati di pinggang.
“jangan cuma mulutnya yang kau robek, Son. Kalau dia mati, dengan senang hati aku akan melemparnya ke jurang. Bangkainya pasti susah ditemukan. Sejak awal aku muak melihat tingkahnya.” Aku yang habis kesabaran ikut-ikutan mengeluarkan belati. Kupandangi Benny, dia beringsut. Krisna malah membeku. Tak bereaksi.
“ayo ! keluarkan lagi ocehan sampahmu ! “ kuacungkan belatiku ke arah Benny. Dia menggigil.
“aku.. aku .. maaff .. maaff kan aku Ryan, Son”
“anjing, kau !”
Soni tersenyum pahit melihat Benny tergagap. Rupanya badanku yang kekar ditambah ancamanku berhasil mengerdilkan Benny. Aku lantas meludah ke mukanya. Cih !
Udara kian dingin. Jam menunjuk pukul lima 5 sore. Kulihat dari jendela tenda, samar-samar di sebelah barat siluet warna merah terkaburkan kabut tebal. Namun, meskipun mataku menangkap secercah cahaya senja, hujan berbadai masih tak berhenti menerpa.
Amara sesekali merintih. Nafasnya patah-patah. Perempuan yang kucintai itu meregang nyawa di depan mataku. Melihat kondisinya membuat dadaku terasa sesak. Hatiku perih bukan kepalang.
Rasa-rasanya perjalanan yang kami lakukan perlahan-lahan tergambar secara lengkap, membentuk kesatuan cerita yang saling terangkai satu sama lain. Empat hari lalu, saat di desa terakhir, kami berlima bercanda hingga terkesan berlebihan. Kami puas tertawa-tawa melarung kenyamanan yang segera tergantikan kesenyapan belantara.
Amara, pacar Krisna yang kucintai, memukauku lebih dari biasanya. Dia berkali-kali memamerkan jaket anti dinginnya yang berwarna merah. Jaket baru katanya. Cocok dipakai di ketinggian lebih dari 3000 meter di atas permukaan laut. Dia terlihat anggun. Lesung pipitnya tertakik jelas. Hatiku terasa dijentik menyaksikan kerling indahnya. Namun, hatiku pun terpantik cemburu menyaksikan tangan Amara menggelayut manja di pinggang Krisna. Ah Amara, gadisku. Cintaku kepadanya serupa mutiara yang tenggelam di palung terdalam. Takkan nampak ke permukaan kecuali keajaiban memberinya sirip untuk berenang ke permukaan dan kemudian mengarungi luas lautan. Ah,
Saat pertama menapaki jalur pendakian, tak nampak sedikitpun keoportunisan si Benny. Dia nampak baik-baik saja. Bahkan, Benny yang baru kukenal terlihat solider. Konon menurut Amara, Benny tertarik bergabung lantaran diajak Krisna. Benny dan Krisna adalah kawan karib semasa SMU.
Semasa di kaki gunung perasaan kami terasa sama. Perasaan aneh, yang kadang tak terjelaskan. Perasaan ini sejenis perasaan egois yang hanya dimiliki mereka yang gemar bermain-main di garis batas. Para petualang, penempuh rimba pendaki gunung, penyusur gua, pemanjat tebing, jenis perasaan yang acapkali meletup-letup mencumbui adrenalin. Perasaan itulah yang saat itu mencumbui kesadaran kami.
Di musim hujan, ketika langit terlihat cerah selama tiga hari, aku dan Soni akhirnya memutuskan bergabung mendaki. Gunung yang lain dari yang lain. Gunung yang membutuhkan insting kuat untuk menaklukkannya. Di samping tercandui atmosfir tipis puncak pegunungan, bercengkrama dengan Amara kujadikan alasan implisitku. Ah, aku mungkin gila. Aku mencintai perempuan yang menjadi kekasih orang lain.
Saat kemudian meninggalkan desa terakhir, kami berlima beriringan menapaki jalan setapak yang cukup terjal. Jalan itu adalah jalan yang membelah perladangan dan hutan pinus di kanan-kiri. Amara melangkah di deretan terdepan sambil bersenandung, Krisna membuntuti di belakangnya. Sementara di deretan tengah, Benny tak henti-hentinya menceritakan penjelajahannya yang menantang bahaya. Konon menurut ceritanya, ia pernah diterkam panthera pardus alias macan kumbang saat melakukan pendakian solo ke gunung Salak. Namun berbekal kegesitan beladiri taeguk 9 taekwondo, Benny berhasil membuat binatang buas itu mengerti artinya salah mangsa. Dengan sebatang dahan sebesar lengan, Konon ia berhasil memukul hidung karnivor itu hingga lari terkaing-kaing. Namun, 2 jam kemudian saat dihantam badai, saat melihat fisiknya pontang-panting menghadapi keterjalan medan pendakian, aku dan Soni merasa seperti keledai. Ya. Keparat sialan itu berhasil membuali kami berdua. Belum lagi kemudian beban tas punggungnya dilimpahkannya kepadaku dan Soni. Ah, bajingan itu fisiknya tak lebih kuat dari Amara. Kalau pun di malam badai ini fisiknya masih lumayan, itu bukan lantaran kemampuan fisiknya yang luar biasa. Tetapi semua dikarenakan kemampuan oportunisnya yang membebankan semua beban beratnya kepada orang lain –menyisakan bahan makanan ringan plus celana dalamnya saja yang terpanggul di punggungnya.
***
Angin di luar tenda mereda. Dingin sangat mencekat meski hujan berjatuhan rintik-rintik. Soni yang berada di sampingku memandang nanar kepadaku. Kurasa dialah diantara kami yang paling tenang menghadapi keadaan. Sesekali tatap matanya memandang muak ke arah Benny, tetapi Benny membuang muka. Kurasa mahkluk sialan itu merasa ditelanjangi. Ya. Tatap matanya tak lagi nyalang. Tatap matanya berubah luruh seperti tatap mata kelinci di hadapan serigala.
Mendengar deru angin yang mulai melemah, rasa optimisku perlahan bangkit. Kulihat Krisna, dia duduk memeluk kaki. Kurasa memburuknya kondisi Amara sangat-sangat memukul jiwanya. Lelaki pendiam itu hilang kekuatan. Atau, ah, semoga ia sedang memikirkan cara terbaik mengevakuasi Amara.
Kucoba mengingat saat-saat yang membuat pendakian kami hilang kendali. Dengan harapan semoga menemukan secercah petunjuk untuk menghindari ancaman kematian di belantara.
Setelah menapaki jalur pendakian kurang lebih 6 jam, kami tiba di kawasan hutan heterogen yang sangat lebat. Pepohonan cemara –Casuarina Junghuhnia seolah tegak menunjuk langit. Dahan, ranting dan dedaunan, bersatu padu mencegah sinar matahari jatuh ke tanah. Hutan yang sangat gelap. Bahkan di cuaca yang paling terik sekalipun. Kami merasakan hawa mencekat ketika memasukinya.
Dalam perjalanan memasuki kelebatan hutan, kami berpapasan dengan sosok kakek tua misterius. Tubuhnya kurus. Pakaiannya serba hitam. Kurasa kakek itu penangkap burung. Di tangannya tertenteng sangkar berisi 5 ekor burung jalak.
‘kalian mau kemana ?” tanyanya waktu itu dengan suara serak. Dia kemudian terkekeh hingga dadanya berguncangan.
Amara yang mendaki paling depan menyahutinya dengan mengatakan tujuan kami yaitu mendaki hingga ke puncak gunung. Namun, jawaban Amara membuat wajahnya bermendung.
“kalian jangan ke sana. Cuaca sedang buruk. Burung-burung saja lebih suka berada di dalam sangkarku daripada beterbangan kesana kemari. Hehehe “ ujarnya sembari mempertunjukkan isi sangkar. Empat ekor burung berwarna hitam, sementara seekor lagi berwarna merah. Saat itu kusaksikan burung berwarna merah tak lagi bisa terbang. Kurasa sayapnya patah.
“kurasa cuaca cukup cerah, Kek” timpal Krisna sambil melempar pandang ke langit, “kalau cuaca memburuk, kami akan turun secepatnya,” kata-kata Krisna terdengar lembut. Kami mengiyakan kalimatnya.
“burung-burung itu kau tangkap dimana ?” tiba-tiba Benny menyeletuk dengan kalimat tegas.
“aku tak pernah menangkapnya. Burung-burung inilah yang datang sendiri ke sangkarku, he he he”
“tak mungkin” dengus Benny
“burung-burung itu seharusnya dilindungi, tak boleh ditangkapi. Menangkapi makhluk hidup sama artinya memangkas kebebasan mereka,” sambung Benny cepat-cepat.
“apalagi kalau tujuanmu hanya kau jual,” pungkasnya
Krisna dan Soni terkaget. Amara terbelalak. Meski memilih diam, dalam hati aku mengiyakan kalimat Benny, tapi tidak dengan caranya.
“mungkin ada benarnya jika burung-burung itu dilepaskan saja, Kek” ujar Krisna lembut.
“tidak … Sudah kubilang aku tak pernah punya niatan menangkapi mereka. Burung-burung inilah yang datang sendiri kepadaku,”
“bagaimana dengan burung warna merah itu ? apa burung yang patah sayap bisa terbang sendirian dan memilih lubang sangkar milikmu ? sangat tidak mungkin ! mustahil !!” Benny bersungut-sungut.
“hehe .. burung yang merah ini akan kulepaskan .. si cantik ini sedang sakit .. hehe,”
“aneh !!” potong Benny
“burung sakit jika kau lepaskan sudah pasti mati. Mengapa bukan yang hitam saja yang kau lepaskan ?! Kau bisa merawat burung yang merah hingga sembuh, baru dilepaskan” “kalimat Benny keras menyengat. Amara tak enak hati mendengarnya.
“pokoknya si merah ini akan kulepaskan. Yang hitam terserah aku .. hehehe” lagi-lagi si Kakek terkekeh sambil memandangi sangkar.
“sudahlah, Ben. Biarkan” Krisna menenangkan. Soni pun mengangguk.
“baiklah. Tapi semoga dia berubah pikiran,” tukas Benny bersungut-sungut. Merasa benar sendiri.
“baiklah kalau begitu, aku permisi dulu, hehehe .. ” ujar Kakek sambil melempar senyum kepada kami. Satu-persatu.
Setelah sang Kakek berjalan sepuluh meteran, kami bersiap melanjutkan pendakian menerobos hutan. Namun Amara sejenak berpaling ke belakang.
“hati-hati di jalan, Kek !” teriak Amara kencang-kencang
“hati-hati juga kalian ! sang Gunung menyimpan murka ! hehehe hehehe” suara balasan Kakek tua itu samar-samar terkaburkan angin gunung. Namun -
Mendadak Amara yang menengok ke belakang jatuh terduduk. Ia terperangah.
“kakek itu .. kakek itu ..” Amara tergagap-gagap. Kami kebingungan mengerubutinya.
“kenapa, Ra?” Krisna memeluk Amara. Hatiku panas.
“kakek itu … kakek itu .. melepas burung warna merah, Kris. Burung itu terbang. Burung itu sembuh. Burung yang patah sayap itu terbang ..” Amara menunjuk ke arah lenyapnya sang Kakek.
“Amara berhalusinasi, Kris. Mungkin dia kelelahan,” sergah Benny.
“tak mungkin dia halusinasi. Fisiknya sedang bagus.” Soni membantah. Aku dan Soni berpandangan tak mengerti.
Setelah kejadian yang menimpa Amara, masing-masing kami berupaya menguatkan diri. Kami memilih melanjutkan perjalanan. Hutan belantara lebat terbelah setapak demi setapak. Tanjakan, curaman, gigiran lembah dan bukit tertoreh pijakan kami yang ringkih di alam raya. Ketakjuban kami serasa bermuara menyaksikan keelokan gunung ini. Apalagi di saat cerah, ketika kami tiba di hamparan padang ilalang yang tak lagi berpohon. Dataran rendah di ujung jauh terlihat memukau. Areal perladangan penduduk bergaris-garis membentuk skematik yang eksotik. Rasa-rasanya, saat itu kesuntukanku luruh mencair. Bagai burung elang yang terbang di udara, sayapku terbentang selebar-lebarnya menjemput kebebasan. Amara tersenyum manis. Juluran rambut yang terusik angin sesekali mengganggu wajahnya. Cantik. Hatiku beresonansi melihatnya. Krisna yang memang cool pura-pura memendam ekspresi. Dibiarkannya tangan Amara menggelayut manja di pinggangnya. Ah, sial. Aku menelan bara cemburu. Bara panas yang hanya melukai batinku, tapi tidak dengan perempuan yang kucintai.
Di padang rumput kami beristirahat sejenak. Menikmati pemandangan indah sembari mengenang pendakian-pendakian yang telah kami lakukan sebelumnya. Ah, lengkap sudah pendakian kami. Udara sejuk. Cuaca cerah benderah. Matahari yang menuruni langit barat mengemilaukan bayang-bayang bebukitan di sekitarnya. Sore itu yang tak menyepakati keriangan kami hanyalah segerombol awan comulus di ujung jauh. Tapi aku tak melihatnya sebagai bahaya, Krisna pun demikian. Pendeknya semua orang tak punya kekhawatiran dengan awan itu. Kami lantas melanjutkan perjalanan membelah padang rumput yang kurasa adalah savana terindah yang pernah kusaksikan.
***
Tiga puluh menit setelah melanjutkan perjalanan, mendadak kabut tebal turun hingga mengganggu jarak pandang. Bebukitan di kejauhan tak nampak lagi, semuanya lenyap. Perlahan-lahan kami menghadapi situasi yang mengkhawatirkan. Terpapar di padang rumput tak berpelindung. Apalagi kemudian, kulitku merasakan sentuhan kondensasi kabut yang dingin mencekat.
Situasi kemudian berubah drastis. Raut wajah kami menegang menghadapi jarak pandang yang kian pendek. Sinar matahari tak mampu menembus. Angin gunung mulai mengamuk. Wajah Amara memucat, paras Benny panik. Namun Krisna meyakinkan kami agar tetap solid dan bersegera mungkin tiba di shelter selanjutnya.
Mendadak tiupan angin kian kencang. Menampar-nampar. Membuat kami harus berjuang keras menopang keseimbangan tubuh. Topi rimba yang dikenakan Soni lenyap terlempar angin. Matanya terpicing-picing mengatasi deru angin.
“aku mencium bau air !!” teriak Soni kencang-kencang. Suaranya nyaris lenyap dilarikan angin.
“semoga tak terjadi badai, Son ! kita pasti berantakan menghadapinya ! disini tak ada shelter alam !” sahutku panik. “ tenda kita tak mungkin mampu bertahan di tempat ini ! dilempar angin !” lanjutku sekuatnya.
Baru saja aku selesai berkata-kata, tiba-tiba guntur meledak seratus meter di sisi kananku. Bibirku gemetar ketakutan. Amara menjerit kencang.
Saat itu, terpapar tepat di tengah padang rumput, tak berarti lagi keputusan terus melangkah maju ataukah mundur. Yang penting secepatnya kami harus menemukan perlindungan. Dan perlindungan itu kutahu berada di depan kami, kelebatan rimba belantara yang akan melindungi kami dari hajaran badai secara langsung.
Beban berat membuat langkah tertatih-tatih. Namun, belumlah reda angin, hujan deras datang menggemuruh. Arah hujan seakan menyamping, serupa ratusan anak panah yang menghajar bertubi-tubi tak kenal ampun.
Suhu udara turun drastis secekat-cekatnya. Tubuh basah kuyup, tak punya perlindungan. Yang kutahu adalah, hujan, angin, dan dingin –merupakan pembunuh para pendaki ketika masing masing unsur perpadu. Windchill. Sejenis kata menakutkan yang para pendaki terhebatpun tak ingin merasakan sentuhan kematiannya.
Tubuhku menggigil tak karuan. Serasa terendam di cairan es. Kulihat Amara, perempuan yang kucintai itu porak poranda. Benny mengumpat-ngumpat. Ia jatuh bangun mengatasi keseimbangan. Soni menggigil. Geraham Krisna menegang melawan gigitan dingin.
Terkenang peristiwa di padang rumput seperti membayangkan berada di neraka. Tersiksa tanpa ampun. Tercerai berai hingga menolong diri sendiri pun serasa tak sanggup. Karena hajaran angin itulah Amara kemudian terserang hypothermia. Setiba di pintu hutan yang memisahkan padang rumput dan belantara lebat, tubuh Amara jatuh tersungkur. Setelah itu menyusul Benny yang mengeluh kelelahan hingga memintaku dan Soni membawakan isi tas punggungnya. Amara tak sadarkan diri. Untunglah Benny masih bertahan meski fisiknya berantakan terhajar badai.
Hujan terus deras tertumpah. Angin kian mengamuk. Krisna meminta kami lebih jauh menerobos hutan hingga efek badai tak lagi memapar tubuh kami. Kurasa disitulah kesalahan Krisna, keputusannya yang kurasa tak tepat memicu tersesatnya rombongan kami di rimba belantara.
Aku dan Krisna memapah Amara jauh menerobos hutan. Soni di belakang kami, sedangkan Benny –meski dengan beban seringan kapuk, dia mati-matian mengerahkan kemampuan fisiknya mengikuti ritme pendakian yang kami lakukan.
Hingga setiba di tempat yang dirasanya pas, Krisna memintaku berhenti. Dirasanya kami sudah cukup jauh menerobos hutan. Dan memang, meski langit gelap gulita mempertunjukkan keganasan badai, efek tamparan angin tak sekuat seperti sebelumnya.
“Son ! secepatnya kau buka tenda !!” teriakku sambil mendudukkan Amara. Soni mengangguk. Krisna kemudian memandangku.
“bukalah baju Amara,” katanya
“bajunya ?!” aku tertegun. Linglung
“ya. Cepat kau buka bajunya. Biar kucari pakaiannya yang kering. Cepat, Ryan” dalam kebingungan aku mengangguk. Kupandangi perempuan yang kucintai di depanku. Hatiku terasa hancur.
Kududukkan Amara di depanku. Kubuka bajunya, pakaian dalamnya, kupandangi tubuh telanjangnya ketika kulepas pakaian basahnya satu persatu. Ya Tuhan, aku menangis, namun tangisanku tersamarkan titik hujan yang jatuh di pipiku.
“tenda sudah siap, Son ?” teriakku sambil jemari menyeka air mata
“ya, kau bawa Amara kemari,” Soni mengangguk sambil membuang wajah. Kurasa dia terlalu sedih melihat kondisi Amara.
“bantu aku, Son. Cepat” ujarku mengiba
Aku dan Soni lantas mengangkat Amara ke dalam tenda. Soni cepat-cepat meninggalkan aku dan Amara setelah permintaanku selesai.
Lagi-lagi aku menangis. Kupandangi tubuh Amara yang porak-poranda. Parasnya yang cantik seakan tersembunyikan.
“Ryan. Kenakan ke tubuhnya. Cepat !” tiba-tiba Krisna memasuki tenda dan mengulurkan pakaian Amara.
Krisna kemudian melepas celana Amara. Seluruh pakaian bawahnya terlucuti. Kubantu Krisna mengenakan celana Amara.
“biarlah Amara memakai sleeping bag-ku. Kurasa punyaku lebih hangat dari miliknya,” kuucap kata-kata itu spontan. Aku tak peduli lagi. Krisna pun mengangguk. Tatapannya kosong.
“setelah ini tolong kau panaskan air, Ryan. Kita harus menghangatkan Amara,” kata-kata Krisna terdengar letih. Ia lantas berbaring di samping Amara, memeluknya, menciumnya, aku keluar dari tenda dengan perasaan terluka.
***
Pukul 20.00, hari ini.
Kondisi Amara kian memburuk. Suhu tubuhnya turun drastis. Gerakan bibirnya terus meracau. Upaya yang kami lakukan untuk membuatnya hangat seolah tak berhasil. Dalam situasi menunggu seperti sekarang, yang bisa kulakukan hanyalah berharap keajaiban.
Angin badai tak lagi terdengar. Hujan baru berhenti. Malam dingin mencekat, kesunyian merajalela. Tak terdengar secericit pun binatang hutan di tempat ini. Aneh. Semua seolah membisu. Kami semua terpekur terkalahkan. Antara gentar, takut, nyali yang tersisa tinggal seujung kuku. Kulihat samar-samar dari jendela tenda cemerat cahaya rembulan yang menerobos kelebatan.
Kusodok Soni yang menunduk menggunakan sikutku,
“Son. Badai sudah berhenti,”
“ap.. apa ? apa ? kenapa ?” badai berhenti ?” gagapnya cepat. Ia setengah sadar.
“ya. Badai berhenti. Sepertinya langit tak lagi mendung. Kalau memungkinkan, kita lakukan orientasi malam ini menggunakan rasi bintang, besok pagi aku khawatir badai mengamuk lagi,” jelasku. Soni mengangguk
“Kris, badai berhenti. Langit sepertinya cerah,” Soni kemudian menggoyang punggung Krisna.
“kenapa ?! kenapa ? langit cerah ? kita harus bergerak malam ini,” Krisna berbicara seperti tergopoh. Ia lantas mengajak aku dan Soni keluar tenda, meninggalkan Benny yang tengah meringkuk di pojok tenda.
Kulihat langit sangatlah cerah. Bintang-bintang yang terselip di sela dedaunan berkedip-kerlip. Tapi sayang, kami masih buta dengan situasi sekitar.
“bagaimana rencanamu ?” tanyaku kepada Krisna.
“begini, kompas kita kehilangan fungsi di tempat ini. GPS kita juga habis batere. Tapi kita masih punya 2 altimeter dan 2 salinan peta kontur, semoga dengan ini kita bisa mencari posisi kita,” Krisna memandangi kami bergantian. Penuh harap.
“carilah rasi bintang crux si sisi selatan, kemudian plot lah elevasi yang tertera di altimeter. Kita bisa memprediksi posisi dengan kemampuan bernavigasi ke sisi selatan sambil menebak rupa kontur,”
“apa tidak lebih baik kita bagi menjadi dua tim ?” usul Soni yang memandang Krisna.
“ya, maksudku memang demikian. Aku menuju ke sana, dan kalian menuju kesana,” Krisna menunjuk dua arah yang saling berlawanan.
“carilah tempat yang terhalang, kalau memungkinkan di titik tertinggi,”
“bagaimana dengan Amara ? apa Benny mampu menjaganya,” tanyaku ragu dengan keseriusan Benny menjaga Amara.
“Benny biarlah disini menjaga Amara, kalau perlu -”
“tidak, Kris !! tidak !! aku tak mau tinggal disini ! aku ikut kau !” tiba-tiba dari dalam tenda Benny berteriak.
“aku tak mau menjaga orang sekarat, Amara tak mungkin selamat,” ujarnya enteng. Entah setan apa yang merasukinya
Aku terbelalak. Soni pun demikian. Ingin cepat-cepat kutarik belatiku dan kutancapkan di mulutnya.
Krisna tak bereaksi. Inilah yang kusayangkan darinya. Krisna tak membela habis-habisan Amara yang nyata-nyata kekasihnya. Krisna malah nampak dungu serupa monyet menelan karbit.
“ baiklah, kau ikut aku, Ben” ujar Krisna. Aku terbelalak.
“Kris !! apa-apaan kau !!! Amara tak mungkin sendirian !!!” potongku kalap. Mual rasanya mendengar kata-katanya.
“Amara sudah tak mungkin selamat. Kondisinya terus memburuk. Kemungkinan bertahan hidupnya sangat tipis, Ryan. Saat ini yang penting kita ambil keputusan berdasar skala prioritas. Kita selamatkan yang masih punya harapan. Maafkan aku,”
Darahku menggelegak mendengar kata-kata Krisna. Emosiku mendidih. Kutarik belatiku namun tangan Soni secepatnya mencegahku.
“tahanlah, Ryan. Tahan. Kita semua dalam kondisi labil. Kumohon, jangan memperburuk dengan emosi,” Soni berkata selembut mungkin.
“aku hanya tak habis pikir dengan isi otak monyet-monyet ini, Son. Mereka menganggap rendah kehidupan Amara. Anjing !!” suaraku bergetaran melontar emosi. Dadaku terasa sesak. Kini kutahu watak asli Krisna.
“sekali lagi maafkan aku, Ryan. Hanya saja, di situasi seperti sekarang, kewarasan otak harus menjadi prioritas. Bukannya perasaan,”
“cukup, Kris !! simpan sampah mulutmu daripada kusumpal dengan belati !!” tanganku reflek meraba pegangan belatiku.
“kumohon, Ryan. Tahan emosimu, sekali lagi kumohon ..” lagi-lagi tangan Soni mencegahku mencabut belati. Kali ini pegangannya lebih kuat.
“secepatnya kita lakukan tugas kita, Ryan. Amara biarlah sendirian barang sejenak. Aku yakin ia pasti baik-baik saja. Percayalah padaku,” Soni membisikiku dengan lembut. Tatapannya mengiba.
Mendengar kalimat Soni, emosiku perlahan turun. Secepatnya kualihkan tatap mataku daripada menyaksikan dua makhluk pengecut mempertunjukkan ketololannya di hadapanku. Aku sungguh-sungguh muak.
“baiklah, aku dan Benny berangkat,” ujar Krisna kepada Soni. Mereka mengambil jalan dan segera lenyap menerobos hutan.
“mau pergi ke neraka pun aku tak peduli,” umpatku menyahuti.
“sudahlah, Ryan. Mari berangkat.” tangan Soni memegang pundakku
“Kau berangkatlah dulu, Son. Tapi jangan jauh-jauh. Kupastikan dulu Amara tak apa-apa,” ujarku meminta pengertiannya.
“baiklah. Aku berangkat lebih dulu. Pastikan jarakku dan jarakmu tak terpaut jauh. Kau ikuti sinar senterku,”
Aku mengangguk mengiyakan Soni.
Soni kemudian bergegas meninggalkanku. Ia mengambil jalan berlawanan dengan jalan yang diambil Krisna dan Benny.
Malam ini, meski badai telah reda, tak kurasakan ketenangan menyelimuti batinku. Malahan kurasa badai yang sepanjang hari mengamuk menghantamiku telah pindah ke dadaku.
Untuk sekejap kutengadahkan kepalaku, aku memejam mata. Kuharap cahaya lembut rembulan yang menerobos sela dedaunan mengantar doaku menuju langit. Agar Amara terselamatkan. Agar sesegera mungkin kulewati segala kegilaan ini.
Kulangkahkan kakiku memasuki tenda yang tak lagi tegak. Kelopak mataku seketika berair. Betapa malang Amara malam ini, betapa tak berdayanya perempuan yang kucintai dicampakkan. Apakah tak berati lagi kata-kata lembutnya di mata Krisna ? ah, kekasih hatiku, Amara-ku yang kucintai, betapa malang dirimu malam ini, Sayang. Aku yang tak berdaya menangisimu memohon maaf.
Kubelai paras pucat Amara dengan tanganku, ia bereaksi. Kubelai lagi, kubelai berkali-kali, kusibak rambutnya dengan lembut, selembut yang kubisa.
“ Amara, maafkan aku yang mencintaimu dan tak mampu berbuat apa-apa,” kudekatkan bibirku ke telinganya. Aku berbisik selembut mungkin.
“aku bersumpah akan menjagamu, apapun yang terjadi. Janganlah kau takut, Ra. Biar semua beban takutmu akulah yang menanggungnya. Kita akan keluar dari tempat ini secepat mungkin,” jiwaku luruh mengisak tangis. Dadaku sesak bercampur perih.
Kukecup lembut kening Amara. Kubelai wajahnya sekali lagi. Aku kemudian meninggalkannya dengan lelehan air mata.
Kukejar Soni secepat mungkin. Ayunan langkahku menerobos sela rapat pepohonan. Menyeruak, menyibak-nyibak. Kutahu dari kelebatan sinar senter di depanku, Soni tak seberapa jauh dari posisiku.
“Son ! Soni !!” teriakku yang mencabut belati. Kubabat batang-batang perdu dengan niatan meninggalkan jejak.
“Ryan ! terus saja lurus !” sahut Soni dengan suara tinggi.
“sudahkah kau temukan posisi bagus ?” teriakku lagi
“masih belum nampak ! kita harus lebih tinggi mendaki !” sahutnya menimpaliku
Hingga tak kurang dari tiga menit, kujumpai Soni tengah bersandar di pohon pinus tinggi besar. Nafasnya terengah-engah.
“kurasa hampir mustahil menemukan tempat orientasi yang bagus,” ujarnya kepadaku sambil mengatur nafas.
“kau yakin tak ada tempat terbuka ?” tanyaku memastikan
“kurasa tak jauh lagi pastilah ada, cuman, posisinya merapat jurang, kau pasti merasakan udara lebih dingin di seberang sana. Disitu pasti bibir jurang. Orientasi di tempat itu sama artinya mempertaruhkan nyawamu,”
“apa kau ingin kembali, Son ?”tanyaku menawarkan
“tidak, Ryan. Aku tak ingin bertaruh setengah-setengah. Kita selesaikan saja semua ini,” katanya optimis. Semangatku terinduksi kata-katanya.
Soni kemudian membimbingku menuju tempat yang memiliki hawa lebih dingin. Tempat semacam itu pastilah punggungan lembah atau gigiran jurang yang angin tak terhalangi rapatnya pepohonan. Kami melangkah berhati-hati. Soni sesekali memberiku peringatan adanya rintangan ranting di atas tanah. Hingga hawa kian dingin, kurasa wajahku merasakan hembusan angin yang mulai kencang. Bunyi dedaunan cemara-pinus yang terusik angin terdengar magis.
“kita hampir mendekati bibir jurang,” ujar Soni yang waspada. Dan memang, kurang dari semenit dari kata-katanya, kami akhirnya tiba di bibir jurang.
“posisinya cukup bagus,” kata Soni yang tersenyum kepadaku. Pandangannya menelisik sekeliling.
“semoga Benny dan Krisna menemukan hal sama,” sambungnya lagi.
Soni lantas melakukan orientasi medan. Dikeluarkannya peta topografi beserta altimeter dari sakunya.
“coba kau bidik kompasmu ke arah crux, yang itu, Ryan” Soni menunjuk rasi salib selatan.
“bukannya kompas kita kehilangan arah ?” aku ingin konfirmasi.
“Iya. Aku tahu. Kita gunakan sebagai data sekunder,” jawabnya singkat sambil menandai prediksi lokasi di peta.
“berapa bearing-mu?” tanyanya kemudian
“178 derajat,” jawabku.
“arah selatan ! syukurlah ! berarti di tempat ini kompas kita normal !” kata-katanya membuat batinku melonjak.
“sudah kau plot posisinya, Son ?” tanyaku memastikan
“sudah .. sudah .. sudah fix” jawabnya. “sebentar, Ryan. Aku kencing dulu ..” ujarnya yang menyingkir menjauh.
“posisi yang kita dapatkan sedikit kasar. Semoga dengan hasil orientasi Krisna bisa lebih meyakinkan,” katanya dengan suara mengejan.
“kuharap tim SAR sudah bergerak menyisir jejak kita,” sambungnya.
Tak kusahuti kata-kata Soni. Aku tengah asyik mengagumi gambaran langit di atasku. Rembulan sabit menguasai langit tengah. Di sekelilingnya terserak jutaan bintang yang terengkuh galaksi yang tak tercerna lagi jangkauannya. Namun tiba-tiba,
BRRRLLLL GGRRROOAAKK !!! JLEGGHH !! BRAAAGGHH BRRDDLLL ..!!
“longsoooorrrr !!! lariii, Ryaaann !! lariiii !!!”
Brgggh .. jleggg .. SRRRRRAAAAAKKKK !!!
Aku tersentak tak karuan. Berlari. Serupa rusa paling pengecut yang mendengar ledak senapan. Kakiku berlari tak berarah. Menerjang-nerjang. Menyelamatkan diri sendiri yang tak tahu kejadian sebenarnya. Benakku berfirasat jika gemuruh dahsyat yang membuatku pontang-panting adalah patahan tebing batu–bercampur tumbangan pohon yang meluncur ke dasar jurang ratusan meter.
Aku terus berlari sekencangnya. Menghambur sebisa-bisanya. Beruntunglah akhirnya kutemukan jejak perdu yang sebelumnya tertebas belatiku. Aku berhenti. Aku terjatuh. Jantungku serasa pecah. Hingga –
“Soni !! Soni !!” teriakku dengan nafas tersengal. Aku berteriak sekencangnya namun tak ada sahutan.
Dadaku bergetaran dikuasai khawatir. Aku bangkit. Kembali ke awal ke bibir jurang.
“Soni !! Soni !! dimana kau !!” perasaanku kian tak enak. Kelopak mataku menghangat.
Hingga setibaku di bibir jurang, aku jatuh terduduk, lemas tak bertenaga. Tempat dimana Soni kulihat terakhir kali tak tersisa lagi.
“Soni .. dimana kau, Son” Aku merintih mengisak tangis. Suaraku seraya tertelan kesenyapan belantara beserta dasar jurang di bawahku. Aku menangis sejadi-jadinya. Meratapi Soni yang tak mungkin lagi menyahuti teriakanku.
Kukumpulkan puing-puing jiwaku setelah terhempas sehancur-hancurnya. Aku bangkit berdiri. Amara. Ya, di pikiranku hanya tersisa Amara.
Kuusap lelehan air mata, aku melangkah menuju tenda. Sepanjang jalan nampaklah jelas jejak pelarianku ketika meninggalkan Soni. Aku terlingkup penyesalan. Namun setelah melihat tenda nan ringkih di depanku, setitik harapanku tumbuh kembali. Kulangkahkan kaki memasuki tenda, dan –
“Amara !! Amara !! dimana kau ?”
“ ya Tuhaaannn .. apa lagi ini !!” aku menangis. Aku meradang. Aku kehilangan kesegalaan.
Tak kutemukan Amara di dalam tenda. Amara lenyap entah kemana.
Bangil –Surabaya, Juli 2010
“dalam tragedi pendakian gunung di bulan Desember itu, tercatat 3 pendaki gunung menjadi korban. Krisna tewas terjatuh ke dasar jurang ratusan meter. Jasadnya ditemukan tersangkut di atas pohon di dasar jurang. Sedangkan Benny dan Soni, kedua pendaki tersebut dinyatakan hilang setelah upaya pencarian tim SAR tak membuahkan hasil.
Amara berhasil selamat. Konon menurut penduduk desa yang terlibat upaya pencarian, Amara ditemukan oleh sesosok kakek tua misterius yang kemudian membawanya turun gunung menuju desa terakhir.
Sedangkan Ryan, tim SAR berhasil menyelamatkannya. Tetapi guncangan yang hebat membuatnya harus dirawat berbulan-bulan di rumah sakit gangguan mental,”
[cerpen JEJAK TERAKHIR, “mengenang para pendaki yang tak pernah menemukan jalan pulang”
Thanks to : “ Mentari” by Iwan Abdurrahman
0 comments