Fakta Tradisi "Saling tikam dalam satu sarung"

Jumat, Mei 04, 2012

Menegakkan nilai kemanusiaan dengan duel maut, baku tikam atau  saling tikam dalam satu sarung atau istilah lebih populisnya sitobo lalang lipa', perihal biasa di daerah Sul-sel, dan maraknya terjadi sejak tahun 60-an menurut Subhu Desang Dg Ngerang (Veteran Tentara).  "Teami takamma, si tobo mami mpa' nassai, ana' muda njomae ri olo ". Katanya . Mengapa peristiwa ini terjadi dan adakah nilai nilai kearifan dari peristiwa baku tikam dalam satu sarung ini?. 

Walaupun mereka Bugis Makassar itu berbuat saling atau baku tikam tikam dalam sebuah persetujuan,  tapi keadaan dicabutnya benda pusaka tersebut adalah hal terpaksa ?, demi menegakkan harga diri, maka pada saat yang sama, dimensi kemanusiaan juga harus ditegakkan.

Beradu tikam dalam satu sarung bukan diartikan sebagai ruang sempit untuk bunuh diri, lebih-lebih bukan untuk belenggu diri dan saling memaksakan membunuh. Di antara orang berduel ini, hilangkan kata kebencian dalam terjadinya sitobo lalang lipa ini, itulah yang secara umum suku di luar Sul-Sel, pahami ini. 

Sikap 2 orang jantan ini, sedang  menegakkan siri dan pacce dengan simbolik bertarung dalam satu sarung, dalam arti kata "Penunjukan kesejatian nilai harga diri, yang diikat oleh simpulan kebersamaan, sebagai sesama manusia". maka setelah peristiwa tersebut salah seorang yang mati dalam pertarungan tidak meninggalkan dendam bagi keluarganya. simak kejelasan berikut ini....
_______________
seminar penguatan integritas mahasiswa dalam pesan nenek mallomo
Ket Foto :Menjawab nilai kearifan dalam duel satu sarung di 
Seminar Indonesia Timur dalam pesan tradisi sakral di SulSel) 

Mengenal peristiwa ini maka kita kembali ke-kearifan lampau Bugis Makassar menyimpulkan bahwa “duel dalam satu sarung ” merupakan simbolik dari akar budaya yang berkaitan dengan substansi yang bernama siri dan pacce itu. Siri berkaitan dengan dimensi dignity (kehormatan martabat) untuk ditegakkan terus, kemudian pacce itu merupakan dimensi kemanusiaan. Keberadaan ini bagi suku Bugis Makassar bukan di terima sebagai bagian dari sifat kejam atau saling menganiaya, sebab nilai sebuah harga diri yang dijunjung tinggi, lantaran malu/ siri' menegakkannya dengan satusatunya jalan hanya seperti ini, "Saling tikam dalam satu sarung" atau dengan istilah bahasa Makassar "Si tobo lalang lipa"

Karena itu duel dalam satu sarung, terdapat semacam nilai empati, nilai penghargaan kita kepada eksistensi orang lain.Tetapi, di tengah tarik menarik antara penegakan harga diri (dignity) berhadapan dengan penegakan dimensi kemanusiaan, keharuan terhadap orang lain pun muncul. Di sinilah bagaimana manusia Sulawesi Selatan, khususnya Bugis-Makassar, mengalah dan mengelola eksistensinya (keberadaannya) untuk bisa mengambil jalan kearifan untuk dapat mengambil suatu langkah. demi kesudahan yang tiada lagi dendam antara keturunannya.

Ini spesifik budaya Bugis-Makassar, ketika konflik tidak bisa lagi dihindari, maka harga diri harus ditegakkan dengan cara saling meniadakan nyawa, yaitu dengan duel dalam satu sarung Di saat seperti itu konflik berdarah mengacu kepada orientasi sebuah ujian kemuliaan manusia.

Dari sinilah bertolak duel satu sarung itu. sebuah nilai kearifan diletakkan oleh orang-orang tua nenek moyang Bugis Makassar, sekali lagi mati di ujung badik, dalam peristiwa ini mengakhiri dendan kesumat.

Dalam Catatan Arman Arge (Budayawan SulSel) bahwa fakta tradisi ini dimaknai lebih luas, iapun mengartikan sebagai duel spiritual, duel kultural, duel kemanusiaan untuk menegakkan harga diri dan martabat sebagai hamba Allah. Jadi implementasinya dari kearifan itu tadi, kita membela diri atau menegakkan kehormatan sebagai eksistensi hamba yang mulia. Jadi, kemuliaan manusia itu yang harus dibela jadi jangan sampai ada yang saling menzalimi antar sesama manusia.

Baca Link Tradisi Budaya Berikut 

Meramal Bayi dari kitab la galigo_______Tradisi unik Mappakoci

Kitab Passompe Kriteria Daerah Tujuan

Kitab : Inspirasi-huruf-lontara 

Jika keadaan :saling tikam dalam satu sarung" tak tercipta, bagaimanakah penyelesaian sebuah konflik yang tidak bisa lain kecuali harus mencabut badik dan dengan itu dendam di akhiri.

Benar bahwa duel dalam satu sarung, gambarannya adalah pertarungan fisik/ pertempuran fisik. Padahal di sini, yang lebih subtansial, adalah spirit dari duel itu sendiri, bahwa di balik itu ada kemuliaan yang ditegakkan. Proses penegakan kemuliaan itu juga harus mulia dalam prosesnya bukan hanya target yang mulia tetapi juga proses ke arah itu. dan sebuah keadaan dipersaksikan oleh orang banyak juga pihak kedua keluarga.

Simpulan itu mengatakan "sarung harus diartikan sebagai simbol persatuan dan kebersamaan. Berada dalam satu sarung berarti kita dalam satu habitat bersama. Jadi sarung yang mengikat kita bukanlah ikatan serupa rantai yang sifatnya menjerat, tetapi suatu ikatan kebersamaan di antara manusia".

Ini spesifik budaya Bugis-Makassar, ketika konflik tidak bisa lagi dihindari, maka harga diri harus ditegakkan dengan cara saling meniadakan nyawa. Di saat seperti itu konflik berdarah mengacu kepada orientasi sebuah ujian kemuliaan manusia.

Jadi duel dalam satu sarung, bukan diartikan sebagai ruang sempit untuk bunuh diri, lebih-lebih bukan untuk belenggu diri. Di antara orang berduel ini di dalam kebencian itulah yang biasa disalahpahami oleh kita semua ini. Bagaimana menegakkan siri dan pacce dengan simbolik bertarung dalam satu sarung, dalam arti kata kita diikat oleh kebersamaan sebagai sesama manusia, mengapa mesti ada konflik yang harus berdarah-darah?

Sekali saja inilah subtansi kebudayaan orang Sulawesi Selatan di dalam menegakkan siri, dan pacce itu, nah di dalam ikatan dengan orientasi kekinian dalam menghadapi dunia modern, kebanyakan pragmatis, berorientasi pada kebendaan, konsumerisme begitupun dalam hal berpolitik, selalu memakai ‘main kayu’, serelefansi dengan duel dalam satu sarung

Jadi penegakan Siri' dan Pacce melalui aktualisasi baku tikam dalam satu sarung atau dalam duel satu sarung : Telaah tokoh budaya mengartikan "satu ikatan antar sesama manusia". Sebab di dalam berkonflikpun kita tidak bisa menampikkan atau membenci musuh kita. Kita tidak bisa mengeksploitasi lawan itu secara binatang, secara kebencian, itulah eksistensi dari kearifan budaya Bugis- Makassar. Bagaimana rupa istilah Sipakatau itu dijabarkan dalam perilaku sehari-hari, termasuk dalam perilaku budaya pada saat gawat yang bernama konflik. Di dalam konflikpun kita harus memanusiakan manusia.

Kalau kita bawa hal itu ke dalam dunia moderen seperti saat ini bagaimana kita mengulangi apa yang dikatakan oleh pakar-pakar budaya dunia seperti “Kita tidak bisa menciptakan masa kini atau masa depan tanpa adanya sejarah atau masa lalu”. Jadi sejarah merupakan guru atau vitae magestra yang memberikan kita kearifan-kearifan, __sebuah perspektif : kukira

Keterangan (gambar by Yunus Ba) : Ilustrasi baku tikam dalam sarung. Katanya "sama ji nyali ta, uang ta ji beda".

Jadi untuk membuat keberadaban baru, perlu ada sikap kultural untuk “Discover The New In The Old”. Menemukan sesuatu yang baru, melalui proses masuk ke dalam budaya-budaya tua. sebab perubahan budaya. Duel dalam satu sarung, kini tergantikan dengan terlanjutkan dengan tradisi main kayu, mesin-mesin pembunuh yang dilatari dengan nafsu meniadakan nyawa.
_______________
Penulis : Kaimuddin Mbck " Fakta Tradisi Sitobo Lalang Lipa"
Sangbaco.web.id_Mei.03.2012.Maros Makassar.

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images