Kisah Raja Kejam Gowa Makassar

Jumat, November 18, 2011


Kisah Raja Kejam dari Gowa -Makassar ulasan sejarah lacak jejak menandai : (1). Pengalihan tunggal penguasaan atas diri pribadi, (2). Pembunuhan dan acara pesta panen raya. Kisah raja kejam Gowa. referensi pustaka dari gedung ke-Arsip item Raja-raja  Gowa dan penambahan kelengkapan data yang dikumpulkan secara kualitatif yang diperoleh dengan cara studi pustaka. Tulisan ini, selain menggunakan sumber primer juga didukung oleh sumber sekunder. Sumber primer yang dimaksud berupa dokumen-dokumen asing dan juga historiografi tradisional Bugis-Makassar dan lontara Attoriolong dalam. keterkaitan dengan penelitian. Simak sejarah ringkas raja kejam Gowa Makassar, dan Terimakasih atas kunjungan ke blog original content sangbaco.web.id. 











Kisah Raja Kejam dari Gowa 


|1|
Di alamatkan pada raja Gowa XIII “I Tepu Karaeng Daeng Parabbung”, sebagaimana dalam lonta di kutip tentang kekejaman tersebut masa pemerintahannya yang sangat singkat yaitu 3 tahun.

"Manna taena salana taua ti’ring nibunoji"

(bhs Makassar terjemah : Kendatipun tanpa salah sesorang atau  membunuh tanpa perlu alasan- latar belakang peristiwa tentang kekejaman raja Gowa XIII “I Tepu Karaeng Daeng Parabbung”, yang membunuhi banyak orang meskipun seseorang itu tidak bersalah, dibawah kepemimpinannya ia memerangi Bone, dan merubah sistim “se’re ata rua raja”, ke pengalihan tunggal penguasaan atas diri pribadi, pendatang asal Jawa dan Melayu ketika itu meninggalkan tanah macassar, dikatakan pula pula dalam Lontara Pattorioloang bahwa semua anak raja melarikan diri , kecuali beberapa diantarannya termasuk karaenga ri Marusu “LoE ri Pakere’, dia adalah seorang raja tua yang tidak mempunyai/ memiliki keturunan. (cat,sementara Crew Budaya Pappaseng Maros). 

Raja ini naik takhta kerajaan Gowa dalam usia 15 tahun, putera dari I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Tunijallo. Karena dianggap sering bertindak sewenang-wenang, baik kepada rakyatnya maupun terhadap bate salapanga, Raja ini akhirnya diusir dari istana Gowa. Karaeng Tunipasulu’ artinya Raja yang terusir atau dikeluarkan.

 “Di masa pemerintahannya yang singkat, hanya tiga tahun (1590-1593),Raja Gowa ke XIII ini memecat beberapa pembesar kerajaan, termasuk Tumailalang I daeng ri Tamacinna, membagi-bagi hamba raja dan menetapkan bate salapanga menjadi ’sipuwe lompo’, melarang rakyat berbakti kepada kedua saudaranya, membunuh orang tanpa salah. 

Tindakannya ini bukan hanya membuat tidak senang dalam istana Gowa tetapi juga membuat para pendatang dan pedagang resah. Oleh Bate Salapanga, Raja ini diasingkan ke Luwu dan disanalah ia menyadari kesalahannya dan masuk Islam dan kemudian ke tanah Buton. 

Setelah sekian lama tinggal di Buton, akhirnya Karaeng Tunipasulu pindah ke Buton dan wafat disana dalam tahun 1617. Meski begitu beberapa informasi yang diperoleh dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bau-Bau, jika keberadaan makam tua ini secara turun temurun telah ada sejak lama dan dipercaya sebagai makam Karaeng Tunipassulu.

Kisah Raja kejam dari Gowa kejam tak dikenal secara meluas Tidak seperti raja-raja Gowa lainnya yang dikenal di seantero nusantara, nama Karaeng Tunipassulu tidak popular. Bahkan di sejumlah data internet tentang sejarah raja-Raja Gowa, hanya menuliskan nama karaeng Tunipasulu sebagai Raja Gowa-13, tidak lebih dari itu. Mungkin inilah yang membuat jika nama besarnya di Buton juga semakin meredup. Lebih parah lagi, orang-orang Bugis-Makassar yang berada di Pulau Buton, nyaris tak mengenal siapa sosok Raja Gowa ini. (Catatan kaimuddin mbck dalam observasi / kunjungan langsung ke Bau-bau Buton item liputan "Kekerabatan Kesultanan Buton dan Raja Bone).












|2|
Upacara Musim Panen Akbar di Lipukasi Maros Menandai peristiwa di tahun 1590-1593, sekaitan dengan Upacara Musim Panen Akbar di Lipukasi Maros. Dalam catatan sejarah B.Erkeles, 1897“. Telusur jejak sejarah ini menuai paupau atau berita dari Uak Daming, berkata “ri moteranni mi anjo nia raja battu rate ri Gowa, ni tarai nampa ni buno rateang biseanna tonji…anjo mbunoai saribbattang passusuaanna tonji ni areng……". dst. 

Tetapi yang menarik dari peristiwa ini pula adalah “Pesta Panen Raya yang di gelar di Marusu, (sekarang Kabupaten Maros), dengan identifikasi daerah bernama Lipukasi”. Sebuah tanda masa lalu dengan isarat wanua /kampung dengan  kesuburan tanah sebagai penanda kemajuan terhadap aspek pertanian dari masa lampau itu, kukira ini terkait dengan banyak hal sakral, misalnya addengka ase lolo, dan mantra-mantra a’lessoro ase, dst dalam "suka kisah unik sejarah budaya tradisi foklor dan papaaseng ) : Penulis | Kaimuddin Mbck.

Sangbaco.web.id | sabtu 18`11`11
Kisah Raja Kejam Gowa (Makassar)



  

You Might Also Like

2 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images