kumpulan kaidah fiqh
Rabu, November 30, 2011
Sesungguhnya  (amalan) yang tidak disyaratkan untuk  dijelaskan, baik secara global  maupun tafshili, apabila kemudian  dipastikan dan ternyata salah maka  kesalahannya tidak membahayakan  (tidak membatalkan)”.
kumpulan kaidah fiqh
~Apabila  seseorang ragu-ragu di  dalam shalatnya, tidak tahu sudah berapa  rakaatkah shalatnya, tiga  ataukah empat, maka buanglah keraguan  tersebut dan berpeganglah kepada  yang meyakinkan.” (HR Tarmidzi)Menurut  Logika >”Keyakinan adalah lebih kuat  daripada keraguan, sebab  dalam keyakinan terdapat keputusan (hakim) yang  pasti yang tidak hilang  oleh keraguan.”|  | 
| kumpulan kaidah fiqh | 
Betapa  Allah memberi prioritas  terhadapa "ilmu", seekor anjing yang notabene,  bersentuhan pun kita dilarang pd bagian tertentu: /hidung dan mulutnya,  tetapi jika ia anjing terdidik/peliharaan (berilmu sebab didikan  tuannya) maka terdapat perkara lain dlm fiqh terhadap hasil buruan  bersama tersebut (dibolehkan)
~Dan  dikembalikan hukum itu kepada yang diyakini dan keraguan tidaklah   membatalkan keyakinan itu."Wa turja'ul ahkamu lillyaqini falaa yuziilus   sakku lillyaqini"
~Hakikat itu tidak dapat diucapkan oleh lisan, bahkan ia adalah perasaan batin (zauq) dan emosi yang halus (wujdan)
.~Jika dalam suatu masalah bertabrakan antara manfaat satu dengan yang lainnya maka di dahulukan & diambil manfaat yang paling besar / tinggi
~Adapun lawannya jika bertabrakan antara mudharat satu dengan yang lainya maka diambil mudharat yang paling kecil dan ringan
~Dan termasuk qaidah syari'ah adalah mudah dalam setiap perkara sebagai ganti dari kesulitan ( kesusahan )
~Tidak menjadi kewajiban jika tidak mampu mengerjakan dan tidak ada keharaman dalam keadaan darurat ( bahaya )
~Setiap hal yang dilarang itu di bolehkan jika dalam kondisi yang darurat, tetapi sesui dengan kadar yang dibolehkan saja untuk menghilangkan darurat itu.
~Dan   dikembalikan hukum itu kepada yang diyakini dan keraguan tidaklah   membatalkan keyakinan itu."Wa turja'ul ahkamu lillyaqini falaa yuziilus   sakku lillyaqini"
~Suatu  (amalan) yang harus  dijelaskan secara garis besarnya dan tidak  disyaratkan untuk terperinci,  kemudian disebutkan secara terperinci dan  ternyata salah maka  membahayakan.”
”Niat dalam sumpah mengkhususkan lafal umum, dan tidak pula menjadikan umum pada lafal yang khusus.” >”Maksud  dari lafal menurut niat  orang yang mengucapkannya, kecuali dalam satu  tempat yaitu dalam sumpah  dihadapan qodli, dalam keadaan demikian  maksud lafal menurut niat  qodli”.Kaidah tersebut sesuai dengan kaidah Nabi SAW:
”Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”
Yang  dimaksud yakin adalah: sesuatu yang tetap, baik dengan penganalisaan  maupun dengan dalil. Sedang yang dimaksud ”syak”  adalah: ” sesuatu yang  tidak menentu antara ada dan tiadanya, dan dalam  ketidaktentuan itu  sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa  dapat dimenangkan  salah satunya.”nasihat untuk afra di darul istiqamah.
Ilmu Ushul Fiqh Sesudah masa Imam Syafi’i
semakin berkembang dan meluas dengan aliran yang bermacam-macam. Hal itu, karena sistematika yang dipergunakan oleh Imam Syafi’i dalam menyusun ilmu Ushul Fiqh dalam kitab Ar Risalah, kitab Jima’ul Ilmi dan kitab Ibthalul Istihsan menekankan, bahwa ushul fiqh merupakan suatu kaidah yang baku untuk mengetahui pendapat-pendapat yang benar dan yang salah, juga sebagai prinsip-prinsip global yang harus diketahui dan dijadikan pedoman dalam usaha penggalian hukum-hukum syara’ pada setiap masa. Imam Syafl’i telah mempergunakan metode ushul fIqh ini untuk mendiskusikan pendapat-pendapat fuqaha yang berkembang luas pada saat itu. Seperti pendapat Imam Maliki, didiskusikan dalam kitabnya Ikhtilafu Malik, begitu juga terhadap pendapat-pendapat ulama Iraq serta pembahasan dan kritiknya terhadap kitab Imam Al Auza’i yang ditulis oleh Imam Abu Yusuf. Dengan demikian semua pcndapat-pendapat fiqh mengikuti kaidah-kaidah ushul fiqh ini.
Imam Syafi’i sendiri dalam menggali 
hukum-hukum syara’ telah menggunakan metode ushul fiqh ini secara 
konsisten dan tidak menyimpang sedikitpun. Dengan demikian, ushul fiqh 
juga merupakan landasan bagi mazhab Syafi’i. Hal itu, bukan hanya 
sekedar untuk mempertahankan mazhabnya, karena sebelum memproklamirkan 
mazhabnya di Irak dan Mesir dia telah menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh 
ini dan telah mempraktekkannya. Oleh karena itu, ushul fiqh menurut Imam
 Syafi’i bukan hanya merupakan kerangka teoritis saja, akan tetapi 
sekaligus merupakan ilmu terapan.
Meskipun semua ahli
 fiqh telah mempelajari dan meneliti ushul fiqh yang disusun oleh Imam 
Syafi’i, tetapi setelah periode Imam Syafi’i, mereka berbeda pandangan, 
sebagai berikut:
- Diantara mereka ada yang memberikan penjelasan (syarah) terhadap ushul fiqh Imam Syafi’i dengan merinci kaidah-kaidah yang masih global.
- Sebagian yang lain ada yang mengambil sebagian besar kaidah-kaidah ushul fiqh yang telah ditetapkan Imam Syafi’i, dan tidak menyetujui bagian yang lain, sambil menambah kaidah-kaidah yang lain. Yang termasuk kelompok ini ialah ulama Hanafiyah yang menggunakan ushul fiqh lmam Syafi’i dengan menambah kaidah lain, yaitu istihsan dan ‘urf. Begitu pula ulama Malikiyah yang menerima ushul fiqh Imam Syafi’i dengan menambah ijma’ (kesepakatan) penduduk Madinah yang diambil dari Imam Malik, di mana hal ini tentang oleh Imam Syafi’i. Mereka juga menambah istihsan, mashalih mursalah dan adzd zarai’ yang dibatalkan oleh Imam Syafi’i.
Demikianlah para fuqaha itu menggunakan 
kaidah-kaidah ushul fiqh yang cocok bagi mereka, meninggalkan yang tidak
 cocok dan menambah kaidah-kaidah yang mereka perlukan yang tidak ada 
dalam ushul fiqh imam Syafi’i. Barang kali metode ushul fiqh yang paling
 dekat dengan ushul fiqh Imam Syafi’i adalah metode ushul fiqh mazhab 
Hanafi. Sedang dilihat dari segi jumlah nara sumber dan materi fiqh, 
mazhab Hanbali lebih dekat kepada rnadzhab Maliki. Insya Allah nanti 
akan kami jelaskan perbedaan metode kajian mereka.
Sebenarnya para fuqaha dan keempat 
mazhab itu tidak ada yang menentang dalil-dalil yang telah ditetapkan 
Imam Syafi’i, yakni Al Qur’an, Sunnah (Hadits), Ijma’ dan Qiyas. 
Semuanya ini disepakati. Sedangkan yang diperselisihkan antara Imam 
Syafi’i dengan ulama mazhab lain menyangkut sumber-sumber yang lain.
Para fuqaha mazhab 
Syafi’i telah banyak mensyarah, menjabarkan dan menjelaskan ushul fiqh. 
Dengan demikian, makin lama ushul fiqh di kalangan mazhab Syafi’i 
semakin hidup dan berkembang, bertambah jelas dan rinci, terutama selama
 periode ijtihad. Para ulama di luar mazhab Syafi’i juga memperoleh 
tambahan penjelasan terhadap ushul fiqh tersebut.
Meskipun beberapa ulama telah menutup 
pintu ijtihad, baik ijtihad secara muthlaq maupun ijtihad pada 
dasar-dasar mazhab tertentu, namun hal itu tidak melemahkan ilmu Ushul 
Fiqh. Bahkan banyak dilakukan pengkajian dan penelitian terhadap bab-bab
 ushul fiqh, untuk menguji masalah-masalah fiqh yang tidak dietapkan 
melalui istinbath dan bertentangan dengan ketetapan-ketetapan 
mazhab yang mereka ikuti. Dengan meneliti dan mendalami ilmu Ushul Fiqh,
 orang-orang yang fanatik terhadap mazhabnya akan memperoleh pegangan 
yang dapat rnemperkokoh mazhabnya dan meyakinkan mereka cara pengambilan
 dalil dalam mazhab tersebut.
Oleh karena itu, pada masa taqlid, ilmu 
Ushul Fiqh juga tidak kehilangan nilai relevansinya karena ia merupakan 
kaidah yang dijadikan pedoman untuk menguji beberapa pendapat yang 
berbeda-beda pada saat terjadi perdebatan, yang masing-masing pihak 
mempergunakan ushul fiqh.
Setelah mazhab-mazhab fiqh menjadi baku, kajian para fuqaha terhadap ushul fiqh terbagi menjadi dua aliran yaitu;
- Aliran Teoritis, yang terlepas dari permasalahan yang terdapat dalam berbagai mazhab. Aliran teoritis ini hanya menetapkan kaidah-kaidah tanpa bertujuan untuk menguatkan atau membatalkan praktek-praktek berbagai mazhab.
- Aliran Praktis, yang bertujuan untuk memberikan legimitasi terhadap hasil-hasil ijtihad terhadap masaiah-masalah furu’. Artinya, setiap ulama mazhab berijtihad untuk memberikan legitimasi terhadap masalah-masalah fiqh yang telah diretapkan oleh ulama mazhab yang mendahuluinya, dengan menyebutkan kaidah-kaidah yang menguatkan mazhabnya. Seperti ulama Hanafi menyebutkan, bahwa lafazh yang ‘am itu menunjukkan hukum qath’i (pasti). Dengan demikian mereka menunjukkan secara berulang-ulang lemahnya hadits ahad yang menyalahi dilalah qat’iyah (penunjukan yang pasti), karena hadits ahad itu sifatnya zhanni. Para fuqaha yang memulai menggunakan metode ini adalah ulama mazhab Hanafi, meskipun pada setiap mazhab ada ulama lain yang juga memakainya.
Aliran yang pertama disebut dengan Al Ushulus Syafi’iyah
 (Ushul Fiqh menurut Syafi’i), karena Imam Syafi’i adalah orang yang 
pertama kali menjelaskan aliran tersebut dalam kajiannya secara teoritis
 murni. Aliran ini juga disebut aliran Mutakallimin, karena kebanyakan 
ularna-ulama ahli Kalam membahas masalah-rnasalah ushul dengan 
menggunakan metode teoritis ini.
Kedua aliran ini akan dijelaskan secara ringkas dalam periodisasi sejarah fiqh.
DAFTAR PUSTAKA :
1.   Muchlis  Usman. Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar  Dalam  Istinbath Hukum Islam, Jakarta. Raja Grafindo Persada. 1993.
2. Prof. DR Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung Pustaka Setia 1998
3. Paper Dwi Iswahyuni, Kaidah-kaidah Fiqhiyah, Program Studi Timur Tengah dan Islam, Program Pascasarjana, UI, 2007, kumpulan kaidah fiqh
 
 
 
 
 
 
 
0 comments