demi jejak surga ajarkan sastra pada anak-anakmu

Jumat, November 04, 2011

Tak hendak menjadi penyair sebab bukan hanya pada rana gagasan. tapi sebuah tanggung jawab besar,dan berani mengambil risiko berlatih secara bertahap dari awal, setapak demi setapak, mengenal setiap kata sebagai perwakilan kearifan keadaan, jika ini adalah kecendrungan keinginan untuk sastra manfaat kebaikan dan aspek religi.

Sastra dalam aspek jejak kebaikan mengurai simbol sebab ketergelinciran, juga meneguhkan kedudukan kita merawat nikmat hidup, lebih jauh bahwa sastra dapat dengan sederhana berfungsi  sebagai alat tegur terhadap kesalahan, dan perihal ini tak butuh moment ruwet dapat langsung di anulir dengan sederhana dalam bentuk karya tulis, tapi mengapa dengan...mengapa  sastra ?. "Sugesti semacam perasaan memasuki alam bawah sadar , memilih dan memilah dalam mengeluarkan kata-kata yang bisa membuat Anda sangat tenang dan membawa pikiran orang lain masuk lebih dalam hingga ke alam bawah sadar pula org lain tersebut... Selengkapnya di (Link berikut : Sastra Sugesti dalam bahasa Perasaan).

Komunitas anak belajar sastra tafsir ayat

Jejak Sastra Dalam Nilai Kehidupan : ku-memulasnya dengan warna-warna yang melimpah, maka saya menyebutnya sebagai sehimpun catatan saja (bukan sajak/ puisi),  yang menciptakan ruang meditasi, tempat kita bisa menegasi rupa-rupa pertanyaan, juga jawaban, tentang mengapa harus bersastra ?
Disinggung oleh  Umar bin Khattab, tentang pentingnya sastra ketika mengingatkan, “Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu, maka kau sedang mengajarkan keberanian pada mereka!” Betapa tinggi nilai essensial dari sastra hingga Anis Matta dalam bukunya yang berjudul “Mencari Pahlawan Indonesia” mengajak pembacanya untuk mempelajari dan mengajarkan sastra. Sastra mengajarkan keberanian, sastra mengajarkan kelembutan, sastra mengajarkan keindahan, sastra mengajarkan kepedulian.

Sungguh sangat beralasan jika negara-negara maju sudah menjadikan sastra sebagai alat untuk membendung moralitas anak-anak muda. Para pendidik di negara-negara maju sudah menyadari bahwa sastra punya kekuatan besar yang sanggup merasuk ke hati pelajar, sehingga moralitas mereka juga bisa tertata.

Sastra menjadi alternatif untuk menumbuhkan nilai-nilai religiusitas dan humanitas bagi kehidupan berbangsa. Sastra memberi pencerahan (insight) melalui tokoh, peristiwa, persoalan, latar religi, serta budaya. Sebagai sistem komunikasi estetik, sastra tidak sekedar menyajikan cerita tetapi juga mengandung pesan-pesan moral. Ia tidak hanya bentuk ekspresi estetik, tetapi juga nilai-nilai tertentu.

Sastra Menumbuhkan Nilai Religi Dan Humanitas
Mangunwijaya (1998) bahwa pada mulanya karya sastra adalah religius. “Religius yang berasal dari kata relego bermakna memeriksa lagi, menimbang, dan merenungkan dengan hati nurani. Semua makna tersebut tercakup dalam seluruh aktivitas kita saat bersinggungan dengan sastra,” jelas Suroso.

Pada kenyataannya, tambah Suroso sambil mengutip Sayuti (1999), terdapat tiga wilayah yang selama ini sering menjadi sumber penciptaan karya sastra. Ketiga hal tersebut adalah wilayah kehidupan beragama, sosial, dan individual. Hal ini menegaskan bahwa sastra hadir dengan menyentuh nilai-nilai religiusitas, humanitas, dan juga universalitas.

Hal itu terbukti di negara-negara seperti Inggris, Amerika, Perancis, Jerman, dan negara-negara maju lainnya, bahwa pendidikan sastra banyak mempengaruhi moralitas para siswa di sekolah. Ada perbedaan yang signifikan antara siswa yang diajarkan sastra dengan yang tidak. Siswa yang diajarkan sastra hampir tidak pernah berperilaku negatif seperti terlibat perkelahian, nge-drug, dan melakukan tindak kejahatan kriminal. Sastra ternyata mampu menata etika mereka dengan budi pekerti yang baik. Padahal remaja yang hidup di negara maju tersebut merupakan remaja yang hidup di tengah masyarakat yang memiliki kebebasan yang tinggi.

Mengidentifikasi sastra sebagai "Pisau tajam" yang mampu menjadi alat paling efektif untuk membuat ukiran patung karya kehidupan yang paling indah. Sastra juga bisa lebih halus daripada sutra yang paling halus hingga mampu menelusup ke dalam relung jiwa hingga tunduk dan pasrah pada kekuatannya,dengan teks aku menggerakkan, bukan fisikmu tapi hatimu yang menjadi pemimpin ragamu....

Menjadi teks kita tetaplah petualang estetis”, maka saya menamakannya sebagai penjelajah yang tak kenal henti mengembara dari satu langgam ke langgam lain, sebutlah  Rendra yang membangun hasrat perlawanan lewat sajak-sajaknya, melalui rangkai eksperimentasi keemasan, kusebut "puisi buat Narti hingga hingga Blues untuk Bony", adalah sebuah pendedahan yang didahului oleh beragam pengalaman proses menjadi "makna /sihir dalam kata". Aku belajar secara otodidak, ini menegaskan bahwa melalui "ketetapian" sajak / mengingatkan saja, jika seorang ilmuwan bekerja dengan metode, maka penyair bekerja lewat kata. Jika ilmu dibangun dari sekumpulan fakta sebagaimana rumah dibangun dari tumpukan batu-batu, maka sajak dibangun dari sekumpulan kata. Penyambung di antaranya adalah tetapi. namun, sekumpulan batu-batu belum tentu bisa disebut rumah. Sama seperti tidak semua kumpulan kata bisa dinamakan sajak.

Tidak ada jalan pintas menjadi penyair. Jika kita berniat menjadi penyair, kita harus membangun inteligensia, kepekaan, dan pengendalian-diri. Harus rajin membuka diri dan ”pintu tafakur” selebar-lebarnya, biar kecerdasan estetika masuk sebanyak yang kita inginkan. (rasanya lebih pilosofi dan religi nih ), "tapi harus telaten dan disiplin, tidak mudah berpuas diri, dan berani mengambil risiko berlatih secara bertahap dari awal, setapak demi setapak. http://www.sangbaco.web.id/2011/07/tong-sampah1.html

Dalam coba-coba ku-menetapi kata ”tetapi”, ketika serangkai kata sudah ter-anggap sebagai sajak, semoga lebih padat, lebih rekat dan tanpa percaya diri yang tak beralasan, kau pun mengenalku sebagai  teks dan ini sudah cukup.......
-----------------------------------------
Kaimuddin.mbck, kab.Maros, SulSel Indonesia.

You Might Also Like

1 comments

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images